Jumat, 16 April 2010

Memperkokoh Dominasi Domestik Menyongsong Open Sky



Berdiri tegak dengan wajah bersinar terang Direktur Utama Garuda Indonesia, Emirsyah Satar, menyampaikan sambutannya di kantor pusat PT Pembangkit Listrik Negara awal April lalu. Hari itu kedua institusi bisnis yang sama-sama milik negara tersebut mengukuhkan kejasama pemasaran (corporate sales). PLN yang para petinggi dan stafnya kerap bepergian dengan pesawat udara baik ke luar maupun dalam negeri ditawari tarif khusus dengan potongan harga (discount) 15%. Untuk tujuan leisure bersama keluarga, harga spesial tersebut juga berlaku.

Begitulah salah satu gambaran betapa gigihnya national flag carrier tersebut berupaya menguasai pasar dalam negeri seluas-luasnya. Langkah itu mengikuti kebijakan serupa yang sudah dijalankan beberapa waktu sebelumnya. Sebanyak 28 BUMN telah lebih dulu mengukuhkan kerjasama sejenis, menggunakan layanan Garuda untuk keperluan perjalanan udara oleh para pejabat dan staf berikut keluarganya. Disebutkan, total terdapat sekitar 600 perusahaan (berikut non-BUMN) yang bakal menjadi pendongkrak jumlah penumpang maskapai nasional terbesar tersebut setidaknya pada tahun ini.

Mau tidak mau, suka atau tidak, maskapai-maskapai penerbangan di Indonesia yang berjumlah 15 harus bergegas sebagaimana Garuda. Batavia Air, Sriwijaya Air, Mandala, Lion Air, Merpati, dan yang lainnya mesti berlari kencang dan berusaha sekuat mungkin demi menguasai pasar domestik, secepatnya. Genderang liberalisasi aviation industry melalui Open Sky Policy di Asia Tenggara yang akan ditabuh lima tahun mendatang (2015) niscaya bakal menenggelamkan airline yang tak mempersiapkan kekuatannya sejak sekarang. Singapura Airlines (SQ), Malaysia Airlines (MAS), dan Thai Airlines, Vietnam Airlines, setidaknya merupakan lawan-lawan tangguh yang sudah siap menggerogoti pasar domestik. Akankah waktu lima tahun yang tersedia cukup memadai untuk persiapan tersebut?

Kontroversial

Jika melirik pada kebijakan perdagangan bebas antara negara-negara Asia Tenggara dengan China (Asean-China Free Trade Area) yang baru saja dimulai di awal tahun yang membuat Indonesia terkaget-kaget, tampaknya hal serupa juga terjadi pada Asean Open Sky Policy. Seperti yang sudah dipraktekkan di negara-negara Eropa dan Amerika, liberalisasi penerbangan “memaksa” setiap negara Asean membuka bandaranya sebanyak mungkin untuk bisa dimasuki secara bebas oleh maskapai-maskapai asing. Dengan sendirinya regulasi domestik yang tadinya hanya memperbolehkan bandara tertentu saja yang dapat dimasuki secara point to point tak berlaku lagi. Dari satu bandara, baik SQ, MAS, Thai Air, dan sebagainya boleh membawa penumpang ke bandara lainnya.

Indonesia yang memiliki 27 bandara berkelas internasional, “diharuskan” membuka beberapa lainnya selain bandara-bandara yang selama ini sudah dimasuki maskapai asing dengan bebas sebagaimana izin rute yang dimilikinya. Bandara Ngurah Rai (Bali), Soekarno Hatta (Cengkareng, Jakarta), Hasanuddin (Makassar), “harus” ditambah dengan yang lainnya sebagai konsekwensi pelaksanaan opensky. Dari Cengkareng, SQ atau MAS dapat menerbangkan penumpangnya ke sebanyak mungkin bandara di Indonesia yang sudah dibuka sebagai jaringan opensky.

Kebijakan opensky di Asia Tenggara pada awalnya dirintis sejak 1997. Tujuan besarnya adalah terciptanya Visi Asean (Asean Community) 2020. Secara maraton perundingan demi perundingan sesama anggota Asean bergulir dengan berpindah dari satu negara ke negara lainnya. Salah satu milestone-nya adalah Bali Concord II pada 2003. Di forum ini diputuskan pembentukan tiga pilar integrasi negara-negara Asia Tenggara yakni Asean Security Commmunity, Asean Economy Community, dan Asean Socio-Cultural Community. Untuk perwujudan masyarakat ekonomi Asean, salah satunya adalah dengan mengintegrasikan transportasi udara (air travel). Itu sebabnya kemudian muncul kebijakan liberalisasi, opensky.

Kalau nantinya pada 2015 opensky benar-benar dijalankan, beberapa kemungkinan baik yang menguntungkan maupun yang merugikan secara bisnis hampir pasti berlangsung. Yang pertama, akan ada peningkatan arus kunjungan wisatawan asing ke berbagai wilayah di Indonesia. Tak hanya Jakarta, Bali, Yogyakarta, Lombok, saja yang bakal didatangi. Tetapi juga kota-kota lainnya terlebih yang jaringan transportasi udaranya yang bisa dimasuki secara bebas. Yang kedua, maskapai-maskapai asing akan mendapatkan rezeki nomplok berupa perluasan pasar melebihi layanan-layanan yang mereka sediakan sebelumnya. Lebih dari Soekarno Hatta dan Ngurah Rai, dari bandara-bandara lainnya tambahan penumpang dalam jumlah menggiurkan bakal mereka dapatkan. Dengan reputasi kwalifikasi penerbangan yang cukup baik, tentulah SQ atau MAS akan dilirik konsumen yang selama ini terbiasa menggunakan jasa Garuda atau Lion Air.

Hal inilah yang dinyatakan sebagai kontroversial oleh Sekjen Asosiasi Jasa Penerbangan Indonesia (INACA), Tengku Burhanuddin. Sebelum kebijakan opensky dicetuskan Indonesia sebenarnya sudah cukup luas membuka pintu masuk bagi penerbangan asing melalui bandara-bandara internasional yang ada. Akan tetapi harapan mengalirnya arus pelancong mancanegara tak cukup menggembirakan. Terbukti lonjakan pertumbuhan wisatawan asing tak kunjung terjadi. Itu sebabnya membuka sebanyak mungkin bandara internasional dalam kaitan liberalisasi baginya merupakan kekeliruan.

Oleh sebab itu Burhanuddin menyatakan INACA tak setuju jika pemerintah membuka 27 bandara internasional yang dimiliki Indonesia dibuka dan dimasuki secara bebas oleh SQ dan yang lainnya. Kalau itu dilakukan maka pasar domestik yang begitu besar akan disapu bersih oleh maskapai-maskapai asing. Airline dalam negeri akan kalah bersaing. Posisi Bangkok, Kualalumpur, dan Singapura yang secara geografis lebih baik untuk menjadi hub internasional membuat mereka lebih mudah menyerap konsumen nasional dibanding Garuda, Sriwijaya Air, dan yang lainnya. Khususnya para penumpang yang hendak bepergian ke negara-negara Eropa dan Amerika.

“Tak ada jaminan bahwa SQ, MAS, dan Thai Airlines, akan mendatangkan penumpang asing ke Indonesia. Penumpang dari Indonesia menuju luar negeri, itulah yang akan mereka rebut,” kata Burhanuddin.

Pernyataan serupa juga dikatakan pengamat penerbangan nasional dari majalah Angkasa, Dudi Sudibyo. Membuka bandara internasional di Indonesia lebih dari lima seperti yang sudah diputuskan yakni Medan, Makassar, Surabaya, Bali, dan Jakarta, sama dengan menyerahkan potensi transportasi udara Indonesia dikuasai orang asing. Bahkan jumlah 12 bandara yang sebelumnya sempat menjadi wacana juga harus ditolak.

Menurut Dudi, Amerika yang sudah lebih dulu menerapkan opensky membatasi jumlah bandara dan maskapai asing yang hendak masuk ke negaranya. Hanya ada lima bandara di negara Paman Sam yang boleh dimasuki dengan bebas oleh airline lain. Untuk tujuan Denver dan Sanfrancisco hanya SQ dan Eva Air (Taiwan) dari Asia yang diperkenankan masuk.

“Kita harus berhati-hati akan keinginan perusahaan asing yang hendak memasuki pasar Indonesia,” kata Dudi.

Dibandingkan dengan negara Asean lainnya yang membuka bandaranya untuk opensky, Indonesia merupakan yang terbanyak. Singapura hanya satu yakni Changi. Philipina dua bandara, Thailan, dua (Bangkok dan Pattaya), Vietnam, dua (Hanoi dan Ho Chi Minh City), Malaysia, tiga (Kualalumpur, Johor, dan Pineng), Brunei, satu.

Pasar Domestik

Pasar penerbangan domestik yang begitu besar tak dapat dibantah merupakan magnet yang membuat maskapai asing tergiur segera terbang ke sebanyak mungkin wilayah Indonesia. Tahun lalu tercatat penumpang domestik mencapai 43,5 juta lebih atau tumbuh 17% dibanding 2008. Jumlah tersebut jauh melampaui negara lainnya baik Thailan, Philipina, dan Malaysia. Sedangkan untuk penerbangan internasional tumbuh 21%, dari 4,1 juta menjadi 4,5 juta lebih.

Berdasarkan survey yang dilakukan INACA, Burhanuddin menyebutkan tahun lalu dari sekitar 240 juta populasi Indonesia, yang terbang dengan pesawat udara kurang lebih hanya delapan juta. Berdasarkan asumsi itu setiap konsumen terbang setidaknya lima kali pada 2009. Dengan demikian jika perekonomian Indonesia diperkirakan tumbuh 5,5%, maka pada 2010 akan bertambah kurang lebih 440.000 orang yang beterbangan ke berbagai wilayah.

“Kami memprediksi penumpang dalam negeri di Indonesia akan tumbuh 15% sampai 20% hingga beberapa tahun ke depan,” kata Burhanuddin.

Perhitungan lain yang disampaikan Direktur Angkutan Udara Kementerian Perhubungan, Tri Sunoko, menyebutkan sampai 2015 lonjakan penumpang domestik secara moderat rata-rata mencapai 10%. Artinya ketika kebijakan Asean Opensky resmi diberlakukan setidaknya pasar domestik akan mencapai 65 juta. Berdasarkan angka ini maka cukup kuat alasan yang menyebutkan perlunya melindungi maskapai dalam negeri.

Faktor penumpang dalam negeri itu pula yang menyebabkan maskapai-maskapai Indonesia tak begitu menghiraukan opensky policy. Belum satupun dari mereka yang secara pasti akan memanfaatkan peluang yang tersedia seperti membuka rute baru memasuki bandara-bandara baru. Justru yang hendak terus menerus diperkuat membuka rute baru atau meningkatkan frekwensi di rute-rute existing di dalam negeri.

Emirsyah Satar menyebutkan dari 36 rute domestik yang dijelajahi Garuda saat ini, pada 2010 akan bertambah sepuluh. Jumlah itu jauh lebih banyak dibanding rute internasional baru yang hendak dibuka, hanya dua yakni Dubai dan Taiwan (point to point).

“Belum ada rencana kami menambah rute di negara-negara Asean. Sebab pasar Indonesia masih besar sekali untuk digarap,” katanya.

Begitu pula dengan Sriwijaya Air dan Lion Air. Manajer komunikasi perusahaan Sriwijaya, Ruth Hanna Simatupang, mereka fokus pada pasar Indonesia Bagian Timur yang belum banyak digarap. Dalam tahun ini tiga rute baru; Manokwari, Sorong, dan Jayapura, menambah 35 rute yang mereka terbangi.

Lion Air, menurut Direktur Umum-nya, Edward Sirait, sampai 2012 belum akan mengalihkan perhatian utamanya dari gurihnya pasar dalam negeri. Dari 13,37 juta penumpang dalam negeri yang meraka raup tahun lalu (market leader), lonjakannya akan terus didorong. Hingga mencapai 70 unit pesawat yang kebanyakan diantaranya dari jenis B737-900ER yang tersedia guna melayani konsumen dari dalam negeri, barulah Lion mengembangkan pasarnya ke negara-negara Asia lainnya seperti India dan China.

“Untuk saat ini kami cukup menguasai market domestik dulu,” kata Edward.

Menuju Opensky 2015

Walaupun demikian, bukan berarti maskapai-maskapai domestik dan juga pemerintah tak mempersiapkan diri secara serius menyongsong penerapan opensky 2015. Secara simultan regulator dan para operator bersama-sama memperbarui berbagai hal baik menyangkut peraturan maupun kesiapan sarana dan prasarana.

Dari sisi pemerintah, menurut Tri Sunoko, pemerintah mendorong setiap maskapai untuk benar-benar menjalankan usahanya dengan menomorsatukan aspek safety, security, services, dan comply. Khusus untuk services, pemerintah berencana membentuk badan independen yang akan melakukan penilaian terhadap kwalitas pelayanan setiap maskapai. Sebagaimana dilakukan lembaga Sky Trax dari London, tanda bintang dari satu sampai lima akan disematkan kepada masing-masing maskapai berdasarkan mutu layanannya. Selanjutnya penilaian tersebut akan disampaikan ke masyarakat konsumen secara terbuka.

Secara terperinci berdasarkan waktu yang tersedia, selama dua tahun hingga 2012 pemerintah melakukan konsolidasi. Di tahapan ini akan diidentifikasi dan dipetakan kapasitas dan potensi masing-masing maskapai sebagai antisipasi terhadap liberalisasi. Seluruh regulasi serta sarana dan prasarana akan ditinjau dan dibenahi agar memperkuat daya saing Indonesia. Selanjutnya pada 2013 selama setahun adlah fase harmonisasi. Akan diseleksi maskapai-maskapai yang dinyatakan layak “mewakili” Indonesia di market regional atau hanya pasar dalam negeri. Kemudian selama dua tahun menjelang 2015 adalah tahapan akselerasi.

“Akan ditetapkan airline yang siap bersaing dengan maskapai asing dan yang menjadi feeder di pasar dalam negeri,” kata Tri.

Maskapai atau airline sebagai pelaku usaha yang paling berkepentingan terhadap penataan opensky secara tersendiri memperkuat masing-masing institusinya. Terutama yang dibenahi adalah kesiapan pesawat dalam hal jumlah dan crew pendukung, sistem administrasi (seperti ticketing, checking, boarding, dan sebagainya), dan aspek-aspek pendukung lainnya.

Garuda, Lion Air, Sriwijaya Air, Batavia Air, Mandala, adalah beberapa maskapai sudah dan akan terus berusaha menambah armadanya. Pilihannya adalah pada pesawat-pesawat baru dengan ukuran besar (widebody) dan hamat bahan bakar.

Garuda dengan program Quantum Leap-nya dari 66 pesawat yang dimilikinya kini manargetkan pada 2014 akan menjadi 116 unit. Terutama yang akan ditambah dari jenis A330-200, B737-800NG, dan B777-200. Dalam tahun ini 23 unit B737-800NG dan satu unit A330-200 akan mereka dapatkan.

Sedangkan Lion Air akan kedatangan 11 unit pesawat jenis B737-900ER, tiga diantaranya sudah didapatkan. Kekuatan armada tersebut masih ditambah dengan beberapa unit pesawat-pesawat pengumpan (feeder) jenis ATR72-500 yang peruntukannya guna melayani penumpang di kota-kota kecil. Misalnya Nias, Sibolga, dan sebaganya.

“Secara bergilir dua pesawat B737-900ER setiap bulannya akan kami terima tahun depan,” kata Edrwad.

Akan halnya Sriwijaya, dari 26 pesawat yang dimiliki guna melayani 171 penerbangan perhari, akan ditingkatkan menjadi 35 unit. Pesawat dari jenis B737-200 akan diremajakan sehingga nantinya mayoritas menjadi B737-400.

Tak cuma di sisi armada, sarana-sarana penunjang pun ikut didirikan masing-masing maskapai. Dalam waktu yang bersamaan, 2010, baik Lion Air dan Sriwijaya, sama-sama mempersiapkan infrastruktur penyedia pilot dan crew yang siap diterjunkan ketika dinyatakan lulus.

Di Menado dengan investasi senilai Rp 300 miliar Lion mendirikan pusat perawatan pesawat. Direncanakan tahun depan akan siap digunakan. Guna mempersiapkan pilot dengan commercial private license, di Cirebon didirikan Wings Flying School. Sekolah ini dilengkapi dengan empat pesawat latih dengan harga perunitnya 400.000 sampai 750.000 dolar. Sedangkan untuk melahirkan teknisi-teknisi handal didirikan pula Lion Training Center. Investasi-investasi itu dilengkapi dengan belanja kebutuhan IT guna perbaikan sistem seharga empat hingga lima juta dollar.

Yang lainnya seperti Sriwijaya tak mau ketinggalan. Demi memenangkan persaingan di masa depan, sekolah pilot dipersiapkan di Pangkal Pinang. Tidak lama lagi, dalam tahun ini, sekolah tersebut akan dibuka secara resmi. Untuk permulaan sebanyak 20 calon pilot akan dididik di sini.

Banyak persiapan dan perbaikan serta tak sedikit investasi dilakukan masing-masing maskapai demi menyambut opensky 2015. Akankah mereka tak hanya menjadi raja di negeri sendiri, tetapi juga merambah pasar internasional? Semoga.

*****

Komposisi Penguasaan Pasar Penerbangan Domestik di Indonesia

Maskapai Market Share (Juta) Persentase (%)
Lion Air 13,37 30,71
Garuda Indonesia 8,39 19,26
Batavia Air 6,10 14,02
Sriwijaya Air 5,46 12,55
Mandala 3,55 8,16
Air Asia 1,45 3,34
Merpati 1,95 4,48
T o t a l 43,55 100

Sumber: Direktorat Jenderal Perhubungan Udara Kementerian Perhubungan

Kepemilikan Pesawat Beberapa Maskapai Terbesar di Indonesia

Maskapai Jumlah Pesawat (Unit) Beroperasi (Unit) Jumlah Seat (Unit)
Garuda Indonesia 66 66 11.057
Lion Air 48 44 9.419
Sriwijaya Air 26 24 2.182
Batavia Air 37 26 4.252
Air Asia 17 14 2.345
Mandala 20 11 1.820
Merpati 27 17 1.409

Sumber: Direktorat Jenderal Perhubungan Udara Kementerian Perhubungan

*****