Kamis, 20 Mei 2010

Diferensiasi walau Sekecil Apapun sangat Penting Maknanya


Apa lah arti sebuah tutup botol? Mungkin tak lebih hanya sekedar pelindung sementara minuman atau cairan yang ada di tubuh botol yang jadi pasangannya. Selepas itu, “dia” akan dicampakkan karena kehilangan fungsinya. Oleh karena bukan yang utama, tanpa botol berikut isinya, tutup jadi tak bermakna apapun.

Tetapi buat Aqua rupanya tak begitu. Bukan tutup botol sembarang tutup botol. Bagi produsen air mineral terbesar di Indonesia ini, tutup berikut botol atau galon pasangannya, sama pentingnya. Keduanya diperlakukan secara “fair” karena merupakan satu kesatuan yang membangun citra (image) produk air yang “mereka” lindungi. Botol atau galon boleh lebih prioritas, tapi tutupnya tak akan diabaikan.

Bisa dibayangkan betapa pentingnya. Dibutuhkan waktu dua tahun bagi Aqua guna mempersiapkan perubahan terhadap tutup galonnya. Mulai mempersiapkan konsep, teknologi, design, merancang mesin, riset pasar, sampai produk jadi. Dari model lama yang sudah berusia lima tahun ke bentuk baru yang lebih fresh. Malah ketika galonnya belum mengalami perubahan apapun, justru tutupnya terlebih dahulu. Oleh sebab itu, tak relevan mempertentangkan mana yang lebih penting antara tutup dengan galonnya. Keduanya merupakan tools untuk menyingkirkan para pesaing.

Dua Warna

Di sebuah mall yang merupakan sentra jajanan makanan di bilangan Sudirman (kawasan Senayan), Jakarta Selatan, persis pada peringatan hari kebangkitan nasional (20/5) lalu, Aqua memperkenalkan kemasan barunya. Dari tutup galon lama (dengan volume 19 liter) berwarna biru polos yang bertuliskan Aqua, kini berubah. Sekarang warnanya menjadi dua, biru dan putih. Di permukaannya terdapat ilustrasi dua sosok manusia bergandengan tangan terbungkus tetesan air. Seolah menggambarkan kebutuhan akan air sebagai syarat kesinambungan kehidupan, takkan tergantikan.

Untuk memudahkan ketika membuka penutupnya, dipasang tungkai yang tersambung lebih panjang. Tak perlu ditarik keras, tutup akan terbuka begitu gampang.

Bekerjasama dengan dua perusahaan partner sebagai supplyer, Dynaplast dan Namasindo, tutup baru diciptakan dengan bahan plastik berbasis poly ethylene. Dengan bahan itu, tutup tersebut menjadi ramah lingkungan dan dapat didaur ulang. Air dalam kemasan pun tak perlu diragukan tingkat steril dan higienisnya. Dijamin.

Sisi kesehatan memang menjadi added value atau nilai tambah penting yang hendak dipersembahkan Aqua lewat packaging barunya. Sebab, menurut ahli teknologi pangan dari Universitas Gajah Mada, Wahyu Supartono, selama ini hal penting tersebut belum disadari dengan baik oleh masyarakat konsumen. Jadi, selain membuat tampilan produk jadi lebih menarik, kemasan baru juga menjamin perlindungan air dari penurunan mutu. Masa penyimpanan menjadi lebih panjang dari sebelumnya. Takkan terjadi penurunan mutu, setidaknya dalam waktu yang agak lama. Jika tidak, citarasanya akan mengalami perubahan. Tidak aman dikonsumsi serta berdampak buruk terhadap kesehatan.

“Model tutup galon dua warna yang dibuat dengan double injection ini merupakan yang pertama di Indonesia dan juga di dunia,” kata brand director Danone Aqua, Tani Sulaeman.

Diferensiasi

Re-design yang dilakukan Aqua terhadap tutup galonnya terkesan “kecil”. Remeh temeh. Tetapi apakah maknanya kecil juga?

Dalam bisnis yang persaingannya sangat ketat, menciptakan diferensiasi terhadap satu produk merupakan sebuah keharusan. Untuk ini tak ada kata berhenti. Sebab seketika produk baru tercipta, kompetitor lainnya akan mengikuti. Tak peduli apakah produk baru yang dihasilkan benar-benar orisinil atau sekedar menjiplak, yang penting tidak ketinggalan. Makin unik atau inovatif, akan kian sulit bagi kompetitor untuk mencontek.

Diferensiasi atas para pesaing, itulah sesungguhnya message utama yang dijalankan Aqua atas produknya. Cukup jamak kita ketahui, banyak sekali bermunculan produk-produk air minum dalam kemasan (AMDK) sejenis yang saat ini beredar di pasar. Diantaranya ada yang brand-nya meniru Aqua atau paling tidak mirip. Buat orang awam yang tak begitu peduli dengan merek, tentu saja mereka tak akan pilih-pilih ketika membutuhkan. Yang penting sama-sama air mineral. Dari sisi bisnis, Aqua sebagai pionir produsen AMDK tentu saja sangat dirugikan.

Pakar bisnis dari Universitas Indonesia, Rhenald Kasali, dalam sebuah roundtable discussion yang diselenggarakan Microsoft Indonesia (20/5) menganalogikan kemudahan mencontek sebuah produk dengan semudah perempuan yang bisa mengikuti setiap gerakan yang diperbuat lelaki. Mengangkat kaki, melebarkan tangan, berjongkok, membungkuk, melompat, mengubah wajah menjadi seperti tampang badut, apa saja bisa ditiru perempuan dari lawan jenisnya. Tetapi ketika sang lelaki melepas pakaian bagian atas hingga memperlihatkan bagian dada dan perutnya, sang perempuan tak berkutik. Begitulah seharusnya inovasi dijalankan. Membuat sesuatu yang berbeda yang tak dapat ditiru.

“Keunggulan daya saing adalah keunikan yang tidak bisa diikuti kompetitor,” katanya.

Senada dengan Rhenald, direktur pengembangan bisnis Federasi Pengemasan Indonesia, Ariana Susanti, menyatakan agar bisa mempertahankan loyalitas pelanggan, setiap perusahaan perlu secara berkala melahirkan image baru terhadap produknya. Kemasan adalah salah satunya. Terutama di era perdagangan bebas yang memudahkan masuknya arus barang dari berbagai negara, kompetisi akan semakin ketat. Produk-produk lokal secara perlahan akan kehilangan dominasinya jika tidak cerdas melakukan diferensiasi.

Tahun ini, katanya, industri makanan dan minuman nasional yang salah satu pemainnya adalah Aqua, akan mengalami pertumbuhan 10%. Tahun lalu hanya meningkat 7% dari 2008 yang mencapai Rp 505 triliun. Sangat disayangkan kalau kemudian yang menikmati keuntungan atas lonjakan tersebut adalah produk-produk impor.
“Setidaknya, kalau mau tetap eksis, sekali dalam lima tahun re-packaging harus dilakukan,” katanya.

Di situlah arti penting dari diferensiasi. Sekecil apapun, walau hanya sebesar tutup botol seperti yang dilakukan Aqua, maknanya sangat penting. Cukup menentukan apakah akan menjadi pemenang atau pecundang.

Kamis, 13 Mei 2010

Imagine Cup Microsoft; Masih Sebatas “Seremonial”?



Untuk kelima kalinya kompetisi pengembangan piranti lunak diselenggarakan di Indonesia oleh Microsoft. Event semacam ini juga berlangsung di negara-negara lainnya di dunia sebagaimana Microsoft mengadakan setiap tahunnya. Pada waktunya para pemenang dari setiap negara dipertemukan lagi guna menentukan software terbaik yang bukan tidak mungkin bakal “dibeli” untuk kemudian diproduksi. Dalam hal ini, tentu sangat membanggakan untuk ikut serta dan menjadi pemenang. Apalagi kalau sampai mengalahkan kreasi dari negara lainnya.

Sebagai pasar yang sangat besar di dunia, Microsoft sangat berkepentingan membangun awareness publik di negara berpenduduk keempat terbesar di dunia ini agar di masa depan produk-produknya menjadi pilihan. On the top of mind, begitu istilah yang selalu dikemukakan. Justru itulah event berciri pertarungan kecerdasan diadakan. Yang disasar adalah kalangan muda (mahasiswa) yang kelak akan menjadi konsumen terbesar kemajuan teknologi apapun. Fakta tersebut tak bisa diingkari kendati perusahaan milik Bill Gates ini kerap berusaha membantah kalau Imagine Cup terkait erat dengan kepentingan bisnisnya di masa mendatang.

Guna mendorong lahirnya kampiun-kampiun baru pengembang software tentu saja Imagine Cup ini patut diapresiasi. Di tengah gencarnya serbuan teknologi baru yang tak terbendung, hingga kini orang Indonesia tidak memiliki peran apapun selain penikmat. Itu sebabnya, hampir semua produk teknologi yang hadir (baik piranti lunak maupun piranti keras), pasar Indonesia selalu yang pertama dimasuki. Untuk peluncuran-peluncuran produk perdana sangat sering negeri ini menjadi yang pertama atau utama. Calon pembelinya kurang lebih 240 juta jiwa.

Itulah sebabnya, para pejabat tinggi negara setingkat menteri tak keberatan menyediakan waktunya menyambangi Imagine Cup. Biasanya di acara puncak yakni penganugerahan penghargaan kepada para pemenang. Seperti baru-baru ini, Menteri Pemuda dan Olahraga, Andi Mallarangeng, berkenan hadir menyampaikan apresiasinya sekaligus memompa semangat para peserta yang datang dari berbagai perguruan tinggi agar menjadi yang terbaik di tingkat internasional.

Pertanyaannya adalah sejauh mana kompetisi sudah berperan melahirkan juara-juara terbaik dari Indonesia yang kemudian memenangkan penghargaan internasional? Pernyataan skeptis lainnya, tidakkah ini hanya sebatas “seremonial” yang tujuan utamanya guna mendekatkan Microsoft dengan pelanggannya?

Peningkatan

Dari sisi peserta, jumlah mahasiswa dan perguruan tinggi yang berpartisipasi di ajang lomba yang sudah dilangsungkan sebanyak tujuh kali di dunia ini, terus mengalami peningkatan. Jika tahun lalu mahasiswa yang menyerahkan kreasi piranti lunaknya hanya 350 orang, pada 2010 menanjak lebih dari 50% yakni 576 orang. Para mahasiswa itu datang dari 45 perguruan tinggi. Meningkat signifikan dari 2009, hanya dari 32 kampus.

Sebenarnya saat ini terdapat 70 perguruan tinggi dari seluruh Indonesia yang oleh Microsoft sudah digandeng agar ikut serta, sayangnya tidak semuanya menyerahkan proyek pengembangan sebagaimana diharapkan. Kendati demikian terdapat animo yang semakin membaik dari para mahasiswa untuk ikut berlomba.

Meski kebanyakan perguruan tinggi yang berpartisipasi datang dari Pulau Jawa; seperti, ITB, UI, Unpad, UGM, Universitas Bina Nusantara, ITS, Institut Teknologi Telekomunikasi, dan sebagainya, sudah terdapat beberapa diantaranya dari yang non-Jawa. Misalnya dari Bali dan Palembang. Malah tahun lalu dari Medan, STMIK Mikroskil, pun mengirimkan proyeknya untuk diperlombakan. Soal ini sebenarnya usaha Microsoft terbilang optimal, mendorong jumlah peserta sebanyak-banyaknya.

“Kami terus berupaya agar ke depan semakin banyak perguruan tinggi yang ikut dan mengirimkan proyek pengembangan piranti lunak,” kata Academic Development Adviser Microsoft Indonesia, Julius Fenata.

Fokus Microsoft di tahun-tahun mendatang, kata Julius, memperluas kerjasama dengan kampus-kampus dari Sumatera dan provinsi lainnya. Dari Sumatera Utara, tiga perguruan tinggi yakni USU, STMIK Mikroskil, dan lembaga pendidikan tinggi DELL, akan digandeng. Khusus USU, agak mengherankan kenapa universitas terbesar di Sumatera ini tak sekalipun ikut di kompetisi bergengsi ini.

“Seremonial”

“Jasa” baik Microsoft Indonesia bagi generasi muda bangsa ini lewat Imagine Cup adalah terbukanya kesempatan bagi para mahasiswa untuk melihat kemajuan dunia luar terhadap pengembangan piranti lunak. Proses lahirnya kreativitas di negara seperti India atau yang lainnya menciptakan software apa saja patut diketahui. Sebagaimana diketahui. tak sedikit perusahaan IT di dunia yang menjadikan negara tersebut sebagai tempat riset dan pengembangan. Dengan sendirinya kesempatan kerja terbuka lebih luas. Yang tak kalah penting, Indonesia tidak lagi sekedar penikmat. Tetapi juga penghasil atau produsen.

Sejauh mana sebenarnya kejuaraan tahun ini menciptakan karya-karya yang lebih fenomenal menjadi penting diketahui. Dalam dua Imagine Cup terdahulu (2008 dan 2009), mahasiswa-mahasiswa Indonesia tampil tak mengecewakan. Berturut-turut piranti lunak yang diciptakan berhasil memikat para juri. Hasilnya, masing-masing memperoleh penghargaan atau award berikut hadiah senilai 10.000 dolar. Patut dibanggakan.

Untuk duta Indonesia tahun ini, pertengahan Mei (11/5) lalu, telah ditetapkan pemenang yang layak mewakili di tingkat dunia yang akan diselenggarakan Juli mendatang di Polandia. Adalah tim Ganesh dari ITB yang kelak akan berhadapan dengan pemenang-pemenang dari negara lainnya bertarung mengadu masing-masing proyeknya. Tim beranggotakan lima orang ini (Puja Pramudya, Andru Putra Twinanda, Tito Daniswara, Aloysius Adrian, dan Kaisar Siregar) dinyatakan sebagai yang terbaik berkat solusi tindakan preventif guna mendeteksi pandemik seperti Avian Influenza dan H1N1.

Tiga finalis lainnya yang dikalahkan Ganesh adalah Oddbyte (ITB), Wolfgang (UGM), dan Tselina (ITB).

Di Polandia, apakah Ganesh akan berhasil meraih penghargaan paling bergengsi lebih dari sekedar award seperti di kedua event terdahulu? Seperti dikatakan Julius Fenata, proyek-proyek pengembangan solusi piranti lunak akan ditentukan pemenangnya dalam dua kwalifikasi. Pertama adalah award yang terdiri atas enam pemenang. Masing-masing pemenang akan pulang dengan hadiah 10.000 dolar. Kedua, pemenang kompetisi. Ada lima pemenang untuk perlombaan ini dengan masing-masing hadiah 25.000 dolar.

Dua kemenangan Indonesia selama ini hanyalah kategori award. Bukan karena kompetisi yang pemenangnya bertarung secara ketat. Meskipun sebenarnya patut dibanggakan, akan jauh lebih prestisius kalau prestasi yang diperoleh didapatkan lewat jalur kompetisi. Tidak sekedar award. Karena, hal tersebut membuktikan bahwa mahasiswa Indonesia benar-benar mampu bertarung dengan peserta dari negara lain yang paling maju sekalipun.

Negara ini, seperti dinyatakan Andi Malarangeng, seharusnya sudah jadi benchmark internasional dalam hal penentuan berbagai prestasi. Sama halnya dengan prestasi-prestasi yang diperoleh dari beragam olimpiade yang banyak diikuti pelajar-pelajar Indonesia.

Akan tetapi, dengan sistem penilaian yang tidak berubah dari Imagine Cup yang satu ke yang lainnya, apakah kita patut optimis bahwa Ganesh akan berhasil mengangkat Indonesia dari tradisi perolehan award menjadi pemenang kompetisi? Mungkin kita tak berani takabur. Dari kriteria penilaian yang begitu-begitu saja tentu sulit berharap lahirnya proyek yang luar biasa.

Mari kita tunggu seperti apa hasilnya di Polandia, Juli mendatang. Semoga tim Ganesh pulang sebagai pemenang kompetisi, tak cuma memperoleh award. Dan di tahun-tahun mendatang, semoga penyelenggaraan Imagine Cup di Indonesia dijalankan dengan kriteria atau penilaian yang lebih ketat. Tidak sekedar “seremonial“ guna menghabiskan dana corporate social responsibility (CSR). Karena hanya dengan cara itu kelas pemenang yang dihasilkan bakal lebih menjanjikan dan membanggakan.

Selasa, 11 Mei 2010

Ternyata Pengusaha pun Lebih Banyak Wanita



Jumlah perempuan yang lebih banyak di Indonesia rupanya tak cuma sebatas jenis kelamin. Pengusaha pun ternyata kebanyakan dari kalangan kaum hawa. Jadi, kalau selama ini yang kerap terdengar lebih lantang menyuarakan persoalan-persoalan bisnis adalah para pelaku usaha berjenis kelamin lelaki, bukan berarti mereka mayoritas. Malah sebaliknya.

Angka Badan Pusat Statistik (2008) adalah buktinya. Untuk usaha kecil dan menengah (UKM), dari 46 juta sampai 49 juta sebanyak 60% hingga 80% di antaranya adalah wanita. Tinggal hitung saja berapa jumlah riilnya jika ada sekitar 52 juta unit usaha yang kini eksis. Lalu, bagaimana kontribusinya terhadap penerimaan pendapatan domestik bruto (PDB)? Sangat signifikan, 55,6% (menurut Apindo Rp 2.609,4 triliun). Ini wajar karena 97,1% tenaga kerja di Indonesia diserap sektor yang sempat dipandang sebelah mata ini.

Tampaknya inilah yang terus-menerus berupaya didorong Femina, sebuah majalah khusus wanita yang berdiri sejak 38 tahun lalu. Melahirkan dan memberdayakan wanita pengusaha agar tak saja berkembang dari sisi jumlah tapi juga kuat bersaing dengan para kompetitor di dalam ataupun di luar negeri. Sejak minggu (9/5) lalu, secara resmi digelar serangkaian kegiatan yang menghimpun wirausaha wanita. Diawali dengan acara seminar di Jakarta, selanjutnya seminar yang sama berikut workshop dilaksanakan di berbagai kota.

Jika tahun lalu agenda yang sama berlangsung hanya di sembilan kota, kali ini bertambah menjadi 11 kota. Selain di Jakarta, hingga Februari tahun depan (2011), seminar akan diadakan juga di Bandung, Solo, Pekanbaru, Manado, Banjarmasin, dan akhirnya di Palembang. Untuk workshop, mereka menggelarnya di Jakarta, Surabaya, Kuta (Bali), Yogyakarta, dan Makassar.

Wanita-wanita pengusaha yang terbilang berhasil dihadirkan untuk menyampaikan testimoni mengenai kisah sukses masing-masing. Mereka adalah Telly Inggrid Limbara (pionir usaha frozen yoghurt Sour Sally), Reza Alvantina (pemilik usaha pembuatan undangan Kartureva yang sudah mendunia), Anne Avantie (pengusaha sukses di bidang fashion yang tak pernah mengecap sekolah mode), dan Clara Seiffi Emmy Pratiwi (produsen tas merek CS Bag yang menjadi supplier bagi brand-brand kenamaan dari Italia dan beberapa negara lain). Diharapkan kesuksesan mereka menginspirasi wanita-wanita lain baik yang tengah membangun usaha maupun yang baru akan memulai.

Sebagaimana tahun lalu, lomba wanita wirausaha Women Fair yang menampilkan produk-produk unggulan karya wanita pengusaha dan Power Lunch (sebagai sesi saling berbagi antarwanita pemimpin) menjadi bagian yang tak kalah menarik dari seluruh rangkaian acara.

Mungkin karena keberhasilan sebelumnya, kali ini pihak penyelenggara menaikkan target peserta. Dari 5.000 menjadi 9.000 peserta. Lonjakannya hampir 100%. Dari temanya, diharapkan UKM yang dijalankan para wanita wirausaha mengalami kenaikan kelas, berdaya saing, dan lebih inovatif. “Agar wanita dapat lebih mengaktualisasikan diri dan berkontribusi dalam pembangunan ekonomi, sosial, dan budaya,” kata salah satu pendiri Femina, Mirta Kartohadiprodjo.

Myelin dan Kreatif

Untuk tujuan kenaikan kelas itu, Femina yang didukung BNI dan AusAid menghadirkan dua motivator ternama. Yang satu adalah Rhenald Kasali yang merupakan pemilik sekolah entrepreneur dan satu lagi penggerak industri kreatif Yoris Sebastian.

Para pelaku usaha pasti cukup akrab dengan nama Rhenald Kasali. Dari Rumah Kebajikan miliknya kerap lahir gagasan-gagasan segar tentang bagaimana seseorang menjalankan usahanya. Semua itu tertuang di 18 buku yang berhasil ditulisnya.

Baik pelaku usaha wanita maupun laki-laki, menurut Rhenald, sangat penting memiliki myelin. Diawali dengan menampilkan potongan tayangan video berisi penampilan sepasang pebalet cacat di China. Meski sang pria sebelah tubuhnya harus ditopang dengan tongkat karena hanya memiliki kaki kanan, tak ada kesulitan baginya bergerak lincah di atas panggung. Tubuh pasangannya yang harus melompat ke pangkuannya tak sekalipun meleset atau terjatuh. Tongkat penopang tubuhnya malah menjadi tools yang memperkuat daya tarik penampilannya, karena menjadi seperti tangga bagi si wanita untuk menaiki tubuhnya.

Bagaimana dengan wanita kompatriotnya? Tak kalah lincahnya. Meski hanya memiliki tangan kanan, jangan kira penampilannya tak sesempurna pemilik tangan utuh. Bersama pasangannya, dia berhasil menciptakan harmoni; berputar-putar meliuk-liukkan tubuhnya. Kekuatan sang pebalet pria tak membuatnya ragu melompat menghampiri pasangannya. Berkali-kali gerakan serupa dilakukannya. Imaging.

Tubuh cacat atau kekurangan lainnya, menurut Rhenald, bukan alasan bagi seorang pelaku usaha untuk berhenti melaju. Atau kekurangan dalam bentuk apa pun tidak berarti kematian. Justru pengusaha yang berkeinginan maju melihat kelemahan sebagai peluang. Dia memiliki perspektif lain dalam melihat sebuah ketidaksempurnaan. Itulah yang ditampilkan pasangan balet dengan tubuh tak utuh tersebut.

Kata kuncinya adalah memiliki myelin atau semangat untuk berlatih terus-menerus. Kekuatan dan kelincahan kedua pebalet catat tersebut bukan sesuatu yang given atau datang dengan sendirinya. Si lelaki harus melatih sebelah kakinya agar memiliki kekuatan penuh dengan bersepeda dan lompat jauh. Jadi, dibutuhkan proses latihan yang tidak sekejap. Pengusaha pun demikian. Mereka harus tak kenal henti mempersiapkan dan melatih diri agar siap menghadapi berbagai keadaan dalam mengembangkan usaha. Kemampuan semacam itu tidak akan diperoleh hanya dengan membaca buku, tapi practise. Berlatih terus-menerus.

Berlatih, terus-menerus mengembangkan diri, dan bahkan reinvestasi men-training diri sangat dibutuhkan demi mempersiapkan diri memanfaatkan opportunity. Peluang atau keuntungan, terutama oleh pelaku usaha yang selalu bergerak lincah, tak akan dapat ditangkap jika tidak ada kesiapan. Peluang keberuntungan itu akan terbang atau didapatkan para pesaing. Segala usaha harus berani mencobanya tanpa perlu khawatir mengalami kekalahan atau kegagalan. Kegagalan justru akan membuat orang yang telah mempersiapkan diri menjadi kenyal. Tidak seperti telur yang lebur ketika terjatuh. Melainkan kembali bangkit laksana bola pingpong.

Yoris Sebastian—yang mengembangkan ide-ide kreatif lewat perusahaan Oh My Goodness (OMG) yang didirikan bersama beberapa kerabatnya—menyarankan untuk membangun bisnis berbasis kreativitas. Kreativitas tiada henti akan melahirkan produk yang sulit dikalahkan pesaing, kendati dijual dengan harga yang lebih mahal. Harus selalu berpikir out of the box.

Namun demikian, perlu ada passion yang kuat sehingga bisnis bisa dilakoni dengan gembira. Biasanya, kalau bekerja dengan passion, kita tak akan pernah merasa lelah. Sesuatu yang menjadi happynomics akan dikerjakan sesuai dengan kesenangan dan menghasilkan uang. Tak akan pernah berhenti melahirkan satu produk yang unik, berbeda, dan meaningful. Itulah yang pernah dilakukan Yoris ketika menjabat general manager di Hard Rock CafĂ©, sebuah restoran yang menyediakan makanan berbagai menu yang dipadu dengan hiburan musik. Gagasan “I Like Monday” yang menampilkan aneka jenis musik yang dilahirkannya saat itu selalu berjubel dipenuhi pengunjung.

Menerapkan pemikiran-pemikiran cerdas seperti yang dikemukakan Rhenald Kasali dan Yoris Sebastian pasti akan sangat bermanfaat bagi para wanita pengusaha yang pertumbuhan jumlah dan kualitasnya terus didorong Femina. Sebab, memang tidak ada satu pun yang bisa diperoleh secara instan dan tanpa kerja keras. Kalau kali ini target 9.000 wanita pengusaha berhasil diraih, tentu saja kontribusi kaum hawa dalam perekonomian nasional kian besar. Pada gilirannya, harapan Indonesia semakin berkembang mendekati negara-negara maju akan kian nyata.

Semoga langkah Femina dalam melahirkan dan menumbuhkan pelaku-pelaku usaha wanita ini diikuti oleh yang lain.

Rolling Stone Indonesia; Bergulat untuk Survive



Tidak terasa Rolling Stone Indonesia memasuki usia kelima. Usia yang terbilang tak pendek untuk satu usaha penerbitan media. Sudah menjadi rahasia umum bahwa bisnis koran, majalah, tabloid, bukanlah usaha yang dapat dijalankan dengan mudah. Padat modal, padat karya, dan padat ilmu pengetahuan. Ketiganya terkait tanpa satu pun di antaranya bisa diabaikan demi terciptanya sebuah produk bernilai jual tinggi. Kendati demikian, adalah persoalan fulus yang kerap kali menjatuhkan atau menumbangkan usaha penerbitan media entah apa pun bentuk produknya. Apalagi jika usahanya masih dalam tahap merintis dan membangun eksistensi atau mencoba merebut pasar agar oplah terjual dalam jumlah besar. Niscaya semua itu tak akan dapat terbangun jika kekuatan modal hanya cekak.

Justru itulah yang patut disoroti dari majalah Rolling Stone Indonesia yang berdiri sejak Mei 2005. Sebagai produk media cetak berbentuk majalah dengan nama yang begitu beken dan sangat dikenal di jagat ini, harusnya tak sulit bagi media yang bermarkas di kawasan Jakarta Selatan (Jl. Ampera Raya) itu untuk merebut pasar. Rolling Stone, gitu lho...!

Khususnya bagi kalangan pencinta musik, baik penikmat maupun pegiat yang terkait di dalamnya, nyaris tak ada yang tidak mengenal Rolling Stone. Berdiri tahun 1967 di San Francisco (dan kemudian hijrah ke New York), majalah ini besar bersama industri musik dunia. Siapa dan apa pun band musik yang eksis, kurang klop kalau Rolling Stone tidak memublikasikan atau mewawancarai mereka. Konsekuensinya, dalam waktu sekejap, popularitas mereka kian mengkilap karena terberitakan hingga ke seluruh penjuru dunia. Rolling Stone adalah majalah musik, dan musik sulit melepaskan diri darinya.

Maka, wajar pula kalau tak ada keraguan jika Rolling Stone Indonesia tidak akan menemui kesulitan berarti membangun eksistensinya. Keberadaan induknya yang demikian perkasa pastilah terimbas pula pada pasar Indonesia. Dalam pemikiran awal, meski tidak harus berpeluh keringat sebagaimana dilakukan media-media cetak lain yang baru terbit, pastilah sekejap saja Rolling Stone menemukan komunitas pembelinya baik di Jakarta maupun di kota-kota lain. Dengan demikian, target bisnis dalam arti meraup keuntungan (tak hanya break even point) kurang dari lima tahun akan berhasil dicapai. Namun benarkah demikian?

Pada pesta ulang tahun Rolling Stone Indonesia kelima yang diselenggarakan Jumat (7/5) malam lalu diceritakan tentang kondisi sebenarnya majalah yang dipimpin Andi Noya tersebut. Sebagaimana diketahui, di industri media, nama Andy Noya nyaris tak ada yang tidak mengenalnya. Berkat program reality show Kick Andy yang diasuhnya di salah satu televisi berita nasional, sosok berambut kribo ini berhasil menuai popularitas. Kecerdasannya meramu acara yang mirip dengan Oprah Winfrey Show itu mencuri perhatian publik dan mengacungkan jempol untuknya. Tangan dingin plus kepiawaian sang pemimpin dipadu brand Rolling Stone yang setara dengan Playboy (untuk majalah pria) pantas mencuatkan optimisme.

Suasana peringatan hari jadi yang sangat kental dengan ciri kegembiraan ditampilkan keluarga Rolling Stone. Keramaian terlihat sejak menapakkan kaki memasuki area berisi gedung berlantai tiga yang tak lain adalah kantor redaksinya. Ini adalah tempat di mana Andy Noya dan seluruh krunya meracik konten-konten majalah dan merancang potensi-potensi bisnis yang peluangnya terbuka untuk dikelola. Tamu-tamu (khususnya para wartawan yang sengaja diundang untuk konferensi pers) disambut secara formal dengan terlebih dahulu melewati meja registrasi. Berbeda dari hari biasa, karpet merah digelar untuk menandakan bahwa gawean yang dilangsungkan bakal menghadirkan orang-orang istimewa.

Kalau diamati memang yang hadir sebagai undangan tidak sedikit yang merupakan figur-figur ternama yang selama ini selalu menjadi berita utama di kancah permusikan nasional. Sherina, misalnya. Mantan penyanyi cilik ini datang lebih awal dari yang lain. Ada pula band The Flowers, Shanty, Shaggydog, Farah Quinn, Endah N. Resha, /rif, dan sebagainya. Ada di antaranya yang hadir sebagai peraih penghargaan pilihan editor Rolling Stone Indonesia untuk beragam kriteria dan ada yang diminta tampil menyanyi menghibur para tamu.

Sebuah panggung megah berdiri persis di halaman belakang gedung induk Rolling Stone. Lahan kosong dan segar yang dipenuhi tak sedikit pepohonan disulap menjadi arena pertunjukan outdoor. Dilihat dari billboard bergambarkan logo rokok yang selama ini sering menjadi sponsor pertunjukan-pertunjukan musik nasional, dengan mudah dapat dimengerti bahwa perayaan ulang tahun tersebut tak luput dari kerja sama kedua belah pihak. Penataan panggung, lampu-lampu yang terpasang, equipment seperti sound system, dan sebagainya 100% tak ada bedanya bila dibandingkan dengan pertunjukan yang biasa diadakan di Senayan. Panggung ini dinamakan Live Venue.

“Live Venue akan dijadikan sebagai tempat pementasan musik yang bakal diselenggarakan empat kali dalam sebulan,” kata Andy Noya.

Live Venue disiapkan menjadi usaha baru sebagai diversifikasi atas majalah yang merupakan core business. Siapa saja dapat menggunakannya, tentu dengan cara menyewa.

Yang terlihat sangat baru dari event yang dikemas dengan nama Rolling Stone Private Party itu adalah pembukaan kafe Rolling Stone. Di dunia, kafe semacam ini hanya ada dua: satu di Indonesia dan satu lagi di Jepang. Bahkan, di negara asalnya (Amerika), kafe tersebut belum didirikan. Tujuannya adalah menyediakan tempat bagi para musisi dan fansnya atau pelaku-pelaku usaha di industri musik sehingga lebih intens bertemu.

Kafe ini menjadi bisnis lain yang digarap dengan memanfaatkan brand Rolling Stone. Jadi, bersama majalah, saat ini terdapat tiga lini usaha yang dijalankan secara bersamaan. Bukan tidak mungkin ke depan semakin banyak usaha yang bisa dihidupkan berkat nama Rolling Stone yang demikian kuat itu.

Lalu, ada apa sebenarnya sehingga Andy Noya begitu bersikeras memanfaatkan nama Rolling Stone sebagai merek bisnis di luar pembuatan majalah?

Andy menyatakan, meski dari sisi cash flow majalah Rolling Stone Indonesia bisa dikatakan sehat, bisnis ini belum mampu memenuhi ekspektasi meraih pendapatan yang lebih optimal. Dengan harga Rp 55.000 per eksemplar, paling banyak hanya 30.000 eksemplar pada setiap edisinya yang diperjualbelikan. Pasar yang begitu segmented berikut harga yang relatif mahal dikatakan sebagai alasan sulitnya mendongkrak penjualan.

Sesungguhnya, ada upaya kreatif yang diciptakan guna mendorong peningkatan oplah. Di setiap edisi, Rolling Stone selalu mengadakan release party berupa panggung musik yang menampilkan para musisi nasional secara bergantian. Para pembeli dapat menikmati pergelaran ini secara free dengan cara menunjukkan majalah yang dibelinya. Majalah menjadi semacam tiket masuk. Namun cara ini belum mampu melesatkan jumlah pelanggan.

Karena usaha harus terus dihidupkan, di sinilah arti penting diversifikasi bisnis dengan memakai nama dan logo Rolling Stone sebagai merek. Itu sebabnya lahir Live Venue dan kafe Rolling Stone.

“Sekitar Rp 6 miliar investasi yang kami kucurkan untuk persiapan kafe,” kata salah seorang pemodalnya.

Memang sudah menjadi hal klasik. Sulit menghindari industri media yang perjalanannya diwarnai pemikiran-pemikiran ideal juga terjerembap menjadi berpikir pragmatis. Ketika peluang baru tampak di depan mata dan usaha utama tak bergerak pesat, maka diciptakanlah usaha baru yang paralel dengannya. Sembari majalah bergulat untuk survive, sumber-sumber pemasukan baru dihidupkan.

“Terlalu sayang kalau brand Rolling Stone yang dibeli dengan harga mahal tak dimanfaatkan untuk bisnis-bisnis lain di luar majalah,” kata Andy.