Selasa, 13 Maret 2012

Fit and Proper Test ala Rakyat


Oleh Parlindungan Sibuea

Tak ada aral melintang, kursi kepemimpinan kejaksaan tinggi Sumatera Utara-pun dengan tenang beralih ke pejabat baru. Dari Abdul Karim Basuni Masyarif kepada penerusnya Noor Rachmad. Tour of duty, begitu istilahnya. Basuni ditarik ke institusi induknya, Kejaksaan Agung. Noor Rachmad “hengkang” dari pekerjaan lamanya sebagai Kepala Pusat Penerangan Hukum.

Kunjungan Basuni ke beberapa media cetak “berpengaruh” di kota Medan (27/2, salah satunya “Analisa”) merupakan sinyalemen awal kalau kepergiannya takkan bisa terhentikan. Disusul seremoni serah terima yang konon kabarnya dilaksanakan di gedung bundar di Jakarta.

Tampil akrab bersama para petinggi media lokal, Basuni berusaha “membersihkan” diri. Seakan-akan pemimpin-pemimpin redaksi itulah atasannya sesudah jaksa agung. Kepada mereka dia menyempatkan diri mengabarkan prestasinya dimana lembaga yang dipimpinnya terpilih sebagai kejaksaan terkinclong di lingkungan kejagung dalam hal penanganan perkara.

Selamat jalan kepada Basuni, selamat menunaikan tugas di posisi dan jabatan yang lebih bergengsi serta prestisius. Selanjutnya, selamat datang Noor Rachmad. Selamat memasuki medan pengabdian baru. Kurang lebih tiga belas juta penduduk provinsi ini menggantungkan harapan akan terciptanya keadilan di pundak anda.

Mulai dari dalih remeh-temeh hingga yang krusial, adakah rakyat mengetahui cerita sesungguhnya di balik pergantian Basuni oleh Noor Rachmad? Apakah ini memang rotasi biasa saja dari jaksa senior kepada yuniornya dan tak punya makna strategis apapun selain agar semua “kebagian”? Atau terdapat alasan prinsipil guna menegaskan tekad keras lembaga kejaksaan menumpas pelanggaran hukum khususnya korupsi di Sumut, semoga segera akan kelihatan.

Mengawetkan Kekecewaan

Setelah tak penuh satu tahun menjabat Kajatisu, patut dipertanyakan jejak prestisius apa yang dicatatkan Basuni dalam hal penegakan supremasi hukum di Sumatera Utara. Terutama menyangkut penanganan kasus-kasus korupsi yang oleh Indonesia Corruption Watch provinsi ini sempat dinyatakan sebagai jawaranya. Tak sedikit perkara pencolengan kekayaan negara yang dilakukan para penyelenggara kekuasaan seperti walikota, bupati dan segenap jajarannya yang di era Kajatisu sebelumnya (Sution Usman Adjie) terangkat ke permukaan. Bagaimana kini kelanjutannya?

Mengutip catatan akhir tahun 2011 tentang kondisi pemerintahan Sumatera Utara yang diterbitkan sejumlah Lembaga Swadaya Masyarakat seperti Kontras Sumut dan Bakumsu, Desember lalu, disebutkan bahwa Kejatisu merupakan salah satu titik lemah yang menyebabkan wilayah yang memiliki pertumbuhan ekonomi 6,58% ini memprihatinkan dalam hal perbaikan hukum dan penegakan kedaulatan rakyat. Jalan di tempat.

Dijelaskan, pada 2010 Kejatisu sempat menangani 33 kasus tindak pidana korupsi. Diantaranya yang dikwalifikasikan sebagai kasus besar adalah penggelapan dana oleh Walikota Medan Rahudman Harahap sebesar Rp 13,8 miliar semasa menjabat sekretaris daerah kabupaten Tapanuli Selatan. Kajatisu terdahulu bahkan telah menetapkannya sebagai tersangka sebelum resmi menjadi orang nomor satu di kota Medan.

Lalu korupsi terhadap APBD Langkat (2000-2007) sebesar Rp 98 miliar lebih serta di Dinas Pekerjaan Umum kota Binjai (2007-2008) Rp 2,5 miliar.

Khusus untuk korupsi dana Tunjangan Penghasilan Aparatur Pemerintahan Desa oleh Rahudman pada 2005, perhatian luas muncul dari berbagai pihak. Instansi vertikal kejaksaan agung, misalnya, sempat melakukan gelar perkara. Lalu Komisi III DPR RI juga menyampaikan keprihatinannya. Hingga kemudian pendahulu Basuni menetapkan status tersangka kepada para pelakunya.

Jika dirunut, Rahudman adalah pejabat tertinggi kota Medan kedua yang sedari awal menduduki jabatannya tersangkut dugaan pelanggaran hukum. Abdillah yang digantikannya secara kontroversial berhasil terpilih menjadi walikota lewat proses pemilihan yang sarat akan politik uang. Hingga kemudian kejatisu terjun menangani kasus tersebut.

Anehnya roda kepemimpinan yang dijalankan Abdillah seperti tidak sedang menghadapi masalah apapun. Berkali-kali jabatan kajatisu berganti, posisinya sebagai pimpinan puncak tak tergoyahkan. Padahal saat itu gairah reformasi yang ditandai dengan menguatnya tuntutan-tuntutan penegakan hukum bergelora kencang.

Kalaupun kemudian dia harus meringkuk di balik terali besi, penyebabnya bukanlah aksi bagi-bagi duit (sebagaimana ramai dipergunjingkan) kepada para anggota DPRD Medan yang memenangkannya menjadi walikota saat itu. Melainkan berbagai penggelapan atau manipulasi penggunaan keuangan (APBD) seperti untuk pembelian mobil pemadam kebakaran serta membelanjai kebutuhan-kebutuhan keluarganya yang tidak ada relevansinya dengan urusan pemerintahan. Dan yang menyeretnya adalah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Begitulah mengecewakannya lembaga kejaksaan yang pada hakekatnya sangat diharapkan berada di garda terdepan guna menyelamatkan Sumatera Utara dari kaum rakus yang menyelewengkan kekuasaan, ternyata tak berbuat sesuatu yang berarti. Tak mampu memenuhi hasrat rakyat yang merindukan tegaknya keadilan tanpa harus diambil alih lembaga ad hoc, KPK.

Itu sebabnya sedari awal sejak Kejatisu menyidik perkara-perkara penggelapan uang negara (yang notabene adalah uang rakyat), sebagaimana dituduhkan kepada Rahudman, suara-suara pesimis begitu deras mengemuka. Sulit dipercaya kalau kasus-kasus itu akan tuntas penanganannya hingga pelaku-pelakunya dijatuhi hukuman seberat-beratnya.

Usulan pencabutan status tersangka yang sempat disandang Rahudman lewat pengajuan Surat Penghentan Penyidikan Perkara (SP3) oleh Basuni adalah bukti paling sahih betapa salah alamat untuk meletakkan harapan pada kejatisu. Alih-alih meneruskan kasusnya ke jenjang pengadilan demi mengungkapkan kebenaran yang sebenar-benarnya, keputusan rekan sejawatnya malah diajukan untuk dianulir.

Bagi Rahudman, Basuni meninggalkan kado perpisahan yang teramat manis. Bahwa sikap tersebut mengawetkan kekecewaan rakyat karena memundurkan langkah pemberantasan korupsi, apakah dia peduli?

Uji Kelayakan oleh Rakyat

Tak bisa ditangguhkan lagi, Noor Rachmad harus jadi nakhoda baru kejatisu. Titah jaksa agung sudah menetapkannya, tak ada yang bisa membatalkan. Hendak sampai berapa lama dia memimpin, rakyat tak memiliki mekanisme apapun untuk ikut mengatur. Bahkan target yang hendak diburunya tak satupun yang tahu selain petinggi-petinggi di gedung bundar. Pertanyaannya, akankah mantan Kapuspenkum ini setali tiga uang dengan Basuni pendahulunya?

Kalau saja rakyat dalam arti sesungguhnya (bukan diwakili lembaga legislatif) diikutkan dalam penentuan pejabat-pejabat penegak hukum semacam kejaksaan dan pengadilan, pasti tak akan ada kekhawatiran bahwa tuntutan jaksa atau palu hakim tak berdaya berhadapan dengan para mafia. Sebab yang namanya transaksi demi kepentingan atau keuntungan jangka pendek seperti lazimnya dijalankan para anggota DPR maupun DPRD tidak bakal pernah berlangsung.

Penempatan atau penunjukan jaksa yang tidak jelas komitmen dan keberpihakannya terhadap penegakan keadilan serta pemberantasan korupsi menjadi kajatisu terbukti memperpanjang kesengsaraan dan pesimisme. Kepastian hukum seperti sebuah keniscayaan untuk menggapainya. Bagaimana mungkin status tersangka yang sudah ditetapkan kemudian dicabut oleh jaksa berbeda dari satu badan penegakan hukum yang sama?

Sayangnya memang belum ada “yurisprudensi” dimana rakyat bisa melakukan fit and proper test atau uji kelayakan dan kepatutan guna memutuskan hakim mana yang layak mengepalai sebuah pengadilan negeri atau pengadilan tinggi. Sama halnya dengan menentukan jaksa mana yang dijamin akan sungguh-sungguh menegakkan hukum sehingga pantas didudukkan menjadi kepala baik di tingkat kejaksaan negeri maupun kejaksaan tinggi.

Sebagai jalan tengah agar kepercayaan rakyat secara perlahan membaik, jika Noor Rachmad mau dan berani, ada baiknya kejatisu mengundang pimpinan-pimpinan rakyat yang kredibel untuk mengetahui arah penegakan hukum yang dikehendaki di Sumatera Utara. Sangat mungkin dalam kesempatan tersebut dukungan kepadanya agar tak gentar berhadapan dengan berbagai kepentingan yang menghendaki tenggelamnya keadilan akan berkobar. Sebab rakyat benar-benar mengimpikan lahirnya kepastian.

Tidak ikut dalam menentukan siapa yang harus menjadi kajatisu lewat sebuah uji kepatutan, setidaknya rakyat tahu arah keadilan hakum yang akan diperjuangkan bersama-sama. Sehingga tak terulang lagi status tersangka “palsu”.

*****

Penulis adalah Direktur Eksekutif Sekolah Pendidikan Politik, POLITICA INSTITUTE

Artikel ini pernah dimuat di SKH ANALISA, Rabu – 14 Maret 2012

Selasa, 28 Februari 2012

Kecurangan Perusahaan Raksasa Sekelas Telkom


Oleh Parlindungan Sibuea

Apalah artinya uang sebesar Rp 10.000 bagi perusahaan raksasa sekelas PT Telekomunikasi Indonesia (Telkom)? Jawabannya pasti sangat tidak ada apa-apanya.

Dengan laba bersih Rp 11,5 triliun pada 2010, perusahaan yang menjual jasa telekomunikasi dalam berbagai bentuk seperti sambungan telepon dan koneksi internet ini sukses merebut posisi sebagai best of the best BUMN. Hampir mustahil tahun 2011 nilai keuntungan itu tidak melonjak sebab pada jangka waktu enam bulan pertama saja Telkom berhasil membukukan angka Rp 5,9 triliun.

Maka tidak heran kalau kemudian perusahaan ini seperti panen beragam pengakuan sebagai institusi bisnis terbaik. Tak hanya dari dalam negeri tetapi juga internasional. Juli tahun lalu, misalnya, majalah Finance Asia menganugerahkan empat kategori penghargaan sekaligus. Diantaranya Best Corporate Governance dan Asia’s Best Managed Company. Dari sekian banyak perusahaan di Asia, Telkom ditetapkan sebagai yang terbaik.

Berselang dua bulan, pada September lagi-lagi international acknowledgement berhasil disabet. Gelar The Most Consistent Dividend Policy and Strongest Adherence to Corpoarate Governance disematkan oleh Telkom Alpha Southeast Asia kepada Telkom.

Puncaknya, kalau memang bisa dikatakan demikian, oleh sebuah majalah ekonomi nasional Desember lalu Rinaldi Firmansyah yang tak lain adalah pimpinan tertinggi Telkom dianugerahi penghargaan sebagai The Most Admire CEO. Sebuah pengakuan yang sangat prestisius karena berhasil menyisihkan banyak sekali pimpinan-pimpinan bisnis yang kwalifikasinya tak kalah mengagumkan.

Di balik semua kemilau itu benarkah Telkom se-perfect penilaian berbagai lembaga pemberi penghargaan tersebut dan tak memiliki cacat sebagai akibat aneka kecurangan yang dilakukan kepada pelanggan?

Kecurangan Telkom

Begitu pesatnya kompetisi di industri telekomunikasi di dunia sebagai akibat penemuan-penemuan teknologi yang begitu pesat memaksa para pelaku usahanya mengadopsi setiap apa saja inovasi yang diperkenalkan. Sebagaimana diketahui Telkom bersama seluruh anak perusahaannya bukanlah the only player penyedia jasa apakah itu untuk telepon rumah, telepon seluler, sambungan internet, televisi berlangganan, dan sebagainya. Ada pemain-pemain lain yang tak kalah tangguh dan cerdas dalam menangkap pasar. Itu sebabnya suka atau tidak, demi merambah market yang luas atau agar terkesan lebih unggul dari kompetitor, hampir tak satupun operator telekomunikasi yang tidak innovation minded.

Berbagai kemajuan teknologi; hardware maupun software, bagi Telkom dan para pesaingnya sebisa mungkin tidak ada yang tak dimiliki. Prinsipnya, kalau bisa lebih mumpuni dari tetangga kenapa harus tertinggal.

Itu sebabnya ketika beberapa tahun lalu teknologi 3G atau generasi ketiga yang memampukan setiap pelanggan berkomunikasi dengan saling bertatap muka lewat masing-masing gadget-nya, mana ada operator yang tidak bergegas ingin mengimplementasikannya. Apalagi ketika itu perangkat kerasnya berupa telepon genggam sudah lebih dulu membanjiri pasar. Handphone dari berbagai vendor seperti Sony Ericsson, Nokia, Motorolla, Samsung, dan sebagainya hadir mendikte pasar seakan-akan 3G adalah sebuah keniscayaan.

Sifat powerful 3G yang berbasis Wide-CDMA (code division multiple access)-nya mampu menghantarkan data berbentuk gambar dalam waktu yang menakjubkan. Baik gambar statis berupa foto maupun bergerak berbentuk film atau video. Jadi tak usah heran jika penyebaran video-video porno yang saat ini kerap terjadi sekejap saja sudah sampai kemana-mana.

Ketika teknologi generasi terbaru yang lebih maju yakni Wi-max (3,5G) dan Long Term Evolution (4G) mulai ramai dibicarakan, nyaris tak satupun provider yang rela ketinggalan. Dalam skala tertentu keduanya coba diadopsi. Tentu saja Telkom berusaha menjadi yang terdepan. Lewat anak emasnya Telkomsel, mereka menjadi salah satu pemegang lisensi perluasan jaringan internet berbasis Wi-Max di beberapa wilayah di Indonesia.

Sesungguhnya tengah terjadi sebuah kontradiksi dalam “pertarungan” antar teknologi ini. Disebut-sebut operator yang sudah menginvestasikan duitnya dalam jumlah yang tidak sedikit untuk implementasi 3G masih membutuhkan waktu agar bisa meraup keuntungan. Tak sekedar balik modal atau break even point. Apa daya masuknya inivasi-inovasi terbaru dari berbagai belahan dunia adalah sesuatu yang tak mungkin dibendung. Untuk sekedar menunjukkan sebagai yang terdepan dalam penyediaan teknologi, maka apa saja yang hadir terpaksa ditangkap. Walau potensi bisnisnya sesungguhnya masih gelap.

Akan tetapi untuk apa semua teknologi yang bisa melahirkan dagangan termutakhir itu diserap kalau ternyata manusia-manusia yang berada di belakangnya kecakapannya tak memenuhi kwalifikasi untuk memperjualbelikannya. Alih-alih mencetak laba dan meningkatkan keperkasaan perusahaan, bisa-bisa citra baik yang dibangun dalam rentang waktu tak sekejap jadi berantakan. Selanjutnya pengakuan-pengakuan akan kedigdayaan sebagai “the best” atau “the most” ikut-ikutan luntur.

Itulah yang belum lama ini menjadi keprihatinan penulis. Ketika Telkom dengan segala ambisinya untuk bertahan sebagai market leader selama mungkin di pasar nasional, dengan segala keberaniannya berinvestasi agar selalu menjadi trend setter dalam hal penggunaan teknologi, ternyata terdapat mata rantai lain dalam struktur pelaksana usahanya yang belum cukup handal menjadi penyokong.

Penulis yang merupakan pelanggan Telkom untuk produk telepon rumah atau PSTN (Public Switched Telephone Network) diherankan oleh pembayaran bulanan yang salah satu komponennya adalah fitur. Bersama komponen abonemen tertera di kwitansi nilai kewajiban yang harus dibayarkan sebagai imbal jasa telekomunikasi yang sudah dinikmati. Kalau abonemen sudah dipahami apa maksudnya sedangkan fitur tak begitu jelas entah benda apa dan kenapa harus dibayar.

Terregistrasi sebagai pelanggan sejak September 2011 pembayaran pertama dilakukan pada bulan Oktober. Disinilah persoalan bermula. Sebagai customer baru sebenarnya sangat lumrah kalau penulis diberi penjelasan tentang komponen-komponen yang harus dibayarkan agar clear dan terhindar dari complain di kemudian hari. Entah karena tenaga penerima pembayaran adalah outsourcing atau pihak ketiga yang biasanya adalah wanita-wanita berparas ayu sehingga tak mau ambil pusing akan keheranan pelanggan atau memang seperti itulah SOP-nya, hanya Telkom yang tahu. Apa arti fitur tetap jadi tanda Tanya.

Demikian seterusnya bulan demi bulan berlalu tapi keheranan penulis belum terjawab. Ketika hal tersebut dipertanyakan, para neng geulis yang bertugas hanya berkata bahwa fitur itu adalah ID Color yang memungkinkan pelanggan mengenali nomor telepon yang masuk menghubunginya sebagaimana tampil di layar handphone. Itu sebabnya dikenakan biaya Rp 10.000.

Keheranan berlanjut. Tanpa berusaha meminta penjelasan jenis pesawat telepon seperti apa yang digunakan, si enneng main tagih saja. Padahal penulis tidak menggunakan tipe pesawat yang memiliki ID Color seperti dimaksud sehingga tak ada kewajiban membayar biaya fitur.

Selama beberapa bulan menjadi pelanggan, dengan kewajiban tambahan membayar Rp 10.000 perbulan, sebesar itulah kerugian yang dirasakan akibat kecurangan Telkom. Bayangkan berapa keuntungan cuma-cuma yang mereka dapatkan setiap bulannya dari pelanggan PSTN yang pada pertengahan 2011 lalu jumlahnya lebih dari 8,4 juta. Andai separuhnya saja yang bernasib sama sebagaimana penulis, nilainya setara dengan Rp 42 miliar. Bukankah dalam setahun kontribusinya sangat signifikan guna menggenapi triliunan rupiah keuntungan Telkom?

Itu hanya dari produk PSTN, bagaimana dengan produk-produk lainnya yang juga berpotensi untuk berbuat hal-hal curang?

Kecurangan telah melambungkan Telkom mencapai laba triliunan rupiah setiap tahun. Kecurangan pula yang menerbangkan Telkom berikut para direksinya dicatat dengan tinta emas sebagai pelaku usaha berkelas bintang.

Uang senilai Rp 10.000 memang tak ada artinya dibanding angka Rp 11,5 triliun. Tapi jumlah itu tidak akan bisa dicapai jika kurang Rp 10.000.

Good Corporate Governance

Sebagaimana Toyota Motor Corporation yang memegang teguh prinsip-prinsip Good Corporate Governance (GCG) tidak seharusnya Telkom abai terhadap “kesalahan kecil” seperti yang merugikan penulis. Tahun lalu dikabarkan karena tak mau mengecewakan konsumen yang pada gilirannya bisa merusak reputasi perusahaan, Toyota melakukan recall terhadap 550.000 unit produknya yang sudah sempat berbedar di pasar.

Sebelum terjadi hal-hal yang mengancam keselamatan jiwa penggunanya akibat ketidaksempurnaan sistem kemudi, perusahaan otomotif terkemuka dari Jepang itu memutuskan lebih baik menanggung kerugian. Begitulah Toyota menempatkan konsumen sebagai stakeholder yang harus dipuaskan dan menjamin GCG agar benar-benar terimplementasikan.

Akan halnya Telkom, dalam bentuk kelalaian yang berbeda, tak ada alasan meletakkan tanggungjawab kepada pihak ketiga yang menyediakan tenaga outsourcing. Sebagai perusahaan yang pernah ditabalkan selaku yang terbaik dalam penerapan GCG harusnya dipastikan bahwa pihak lain yang digandeng sebagai partner benar-benar in line dengan visinya. Sehingga tak perlu terjadi kesalahan walau sekecil apapun. Sebab sekali itu terjadi akan sangat sulit memperbaikinya. Terlebih karena begitu banyaknya penyedia jasa telekomunikasi, pelanggan akan sangat mudah menjatuhkan “hukuman” dengan cara pindah ke operator tetangga.

Rasanya sangat tidak tepat jika Telkom bersikap pasif menunggu lahirnya kebijakan pemerintah sebagai regulator agar mau memperbaiki kwalitas produk atau layanan. Tak perlu harus menjadi seperti maskapai-maskapai penerbangan nasional yang terpaksa membenahi kebiasaan buruknya untuk terbang on time sebagai akibat terbitnya Permenhub Nomor 77 Tahun 2011. Sebab peraturan dan hukuman tak tertulis dari konsumen jauh lebih menakutkan dan maha berat menebusnya. Itulah bayarannya jika trust atau kepercayaan yang jadi nafas dalam berusaha tak sungguh-sungguh dipelihara.

*****

Penulis adalah pelanggan PSTN Telkom

Setelah mengalami pengeditan, artikel ini pernah dimuat di SKH Analisa, Selasa – 28/2/2012

Kamis, 19 Januari 2012

Antara Joko Widodo dan Rahudman Harahap


Oleh Parlindungan Sibuea

Bisakah anda gambarkan air muka seperti apa yang akan terlihat di wajah Walikota Medan, Rahudman Harahap, bila saat ini didudukkan satu meja dengan Walikota Solo, Joko Widodo? Kemudian di hadapan keduanya berkumpul membaur warga masing-masing yakni dari Medan dan Solo. Senyum sumringahkah, menegakkan kepala pertanda percaya diri, tertawa kecut, tertunduk rendah diri dan minder, atau malu-malu laksana bocah kecil yang minta diajari sesuatu agar bisa memberi arti terhadap sekelilingnya?

Pekan lalu, minggu pertama tahun baru 2012, sepertinya tak satupun dari 200-an juta penduduk Indonesia yang tidak terhenyak atas sikap percaya diri Joko Widodo memperkenalkan mobil baru buatan siswa Sekolah Menengah Kejuruan di kota yang dipimpinnya. Tidak mau menunggu orang lain memberi apresiasi terhadap karya anak bangsa tersebut, walikota yang akrab disapa Jokowi ini ambil inisiatif menjadi customer atau pembeli pertama mobil yang kemudian dikenal dengan brand Kiat Esemka itu. Berapa harganya? Hanya Rp 95 juta.

Bandingkan dengan mobil Rahudman bermerek Jeep Wrangler yang dibeli pertengahan tahun lalu seharga Rp 1,1 miliar. Atau Toyota Cygnus berharga serupa yang sama-sama berstatus mobil dinas yang sudah dimiliki beberapa bulan sebelumnya.

Menyenangkan Rakyat

Perkara menyenangkan hati rakyat, Jokowi sepertinya merupakan tipikal pemimpin yang dilahirkan untuk tujuan itu. Sedari awal memimpin, periode pertama pada 2005-2010, ciri kepemimpinan yang tampil melalui berbagai kebijakan yang dilahirkan tidak satupun yang berusaha memarjinalkan rakyat. Akan tetapi warga justru dimanusiakan, di-wongke.

Berdasarkan konsep bertajuk “Solo’s Future is Solo’s Past” yang dimilikinya Jokowi membangun kotanya dimana rakyat tak cuma jadi penonton apalagi beban. Dengan peran masing-masing walau sebesar apapun seperti pedagang kakilima, mereka diajak membangun bersama-sama.

Disebutkan di berbagai media, pengalaman sebagai pengusaha mebel dan taman menghantarkannya melanglang ke kota-kota di berbagai negara di dunia. Dari situ kemudian dia mengenal masing-masing pola pembangunannya. Diantaranya Zagreb di Kroasia, Budapest di Hungaria dan juga kota-kota lainnya baik di Eropa maupun Asia. Kota-kota tersebut memiliki kesamaan dengan Solo, kaya dengan peninggalan karya-karya seni dan budaya. Inilah yang selanjutnya dijadikan mutiara bernilai jual tinggi guna menyedot pendapatan demi membangun wilayahnya.

Langkah pertama yang dilakukannya adalah penataan kota. Kaitannya dengan rasa dan kenyamanan calon pembeli baik yang datang dari dalam maupun luar negeri, mustahil menjual kekayaan budaya dan seni di tengah keruwetan lalulintas, carut marut peruntukan wilayah serta aktivitas masyarakat yang tidak terkontrol. Di fase ini konflik menanti dan pergesekan dengan masyarakat dipastikan bakal terbuka. Sebab kendati tidak sebesar Medan yang dikenal sebagai kota nomor tiga terbesar di Indonesia, fenomena perkotaan sebagaimana umumnya juga terjadi di Solo. Kebanyakan masyarakat hidup dengan mata pencaharian berdagang. Tepatnya pedagang kakilima.

Disini kepiawaian seorang Jokowi sebagai pimpinan yang tak bermental semena-mena; seenaknya menggusur warga dan memberangus sumber kehidupan mereka, dengan nyata terlihat. Bukan hal mudah meminta pedagang kakilima untuk mau pindah secara sukarela menempati tempat berdagang baru kendati dengan iming-iming gratis sekalipun. Karena seringkali pemerintah menyediakan tempat berjualan sebagai pengganti tanpa memikirkan kemungkinan pembeli akan mau datang seramai tempat semula. Bagi pemimpin yang malas dan tak kreatif biasanya menurunkan Satuan Polisi Pamong Praja atau Satpol PP adalah pilihan termudah. Empati kepada para pedagang yang notabene adalah warganya dicampakkan sejauh-jauhnya. Meski dengan cara menggunakan kekerasan sekalipun, pokoknya para pedagang mau pindah!

Tak begitu yang dilakukan Jokowi. Kurang lebih seribu pedagang pasar tradisional Banjarsari yang terhimpun dalam beberapa paguyuban, yang hendak direlokasi ke tempat baru Pasar Klitikan, para kordinatornya diundang makan bersama di rumah dinas walikota. Sebuah pendekatan yang sangat humanis. Memanusiakan manusia. Bukan satu atau dua kali saja, upaya meluluhkan hati pedagang agar mau memindahkan tempat berjualannya lewat acara makan bersama tersebut dilakukan sebanyak lebih dari 50 kali. Barulah kemudian rencana itu disampaikan.

Dan tak sekedar makan bersama. Upaya meyakinkan para pedagang bahwa mereka akan tetap sejahtera kendati berjualan di tempat baru dilakukan dengan beberapa kebijakan lainnya yang sangat inovatif. Selama empat bulan Pasar Klitikan diiklankan di televisi dan media cetak lokal. Akses jalan raya menuju pasar dibangun menjadi lebih lebar, trayek baru angkutan kota yang memudahkan pembeli datang berbelanja juga dibuka.

Kalau pemerintah sudah sangat bersahabat seperti yang ditunjukkan Jokowi, adakah rakyat yang akan membangkang?

Dia berkeyakinan sepanjang para pedagang kakilima ditata dan diberdayakan sebaik-baiknya, mereka pasti akan berkontribusi bagi pembangunan ekonomi. Maka sangat keliru jika menganggap para wong cilik itu sebagai musuh, sebaliknya adalah patner.

Buktinya, pada 2008 sektor yang kerap dipandang sebelah mata akibat diasumsikan becek dan bau ini berhasil menyumbang pendapatan dari sisi retribusi sebesar Rp 14,2 miliar. Jauh melampaui mall yang hanya mencapai Rp 4 miliar. Itulah buah yang didapatkan dari penataan dan pembangunan ulang 12 pasar tradisional. Dengan jumlah 38 yang ada, tinggal kalikan saja berapa nilai pendapatan asli daerah yang bakal dihasilkan.

Jadi tak usah heran kalau kemudian Jokowi memperkenalkan mobil Kiat Esemka buatan warganya. Menyusul promosi yang dilakukannya banyak pejabat pusat dan daerah kini berlomba-lomba tak sekedar ingin mengetahui, tetapi juga membeli. Ketua DPR RI Marzuki dan beberapa anggota DPR sudah menyatakan niat untuk memiliki Esemka. Menteri Pendidikan Nasional Muhammad Nuh bahkan berniat menghadiahkan mobil tersebut kepada bosnya, Presiden Susilo Bambang Yuhoyono.

Satu lagi cara Jokowi untuk menyenangkan rakyatnya. Sungguh benar-benar pemimpin yang bersahaja dan penuh kreasi.

Bagaimana dengan Rahudman?

Mari kita bandingkan Rahudman dengan Jokowi. Lupakan sejenak tindak korupsi yang disangkakan padanya akibat menggelapkan uang negara sebesar Rp 13,8 miliar. Dana tersebut ditilapnya ketika menjabat Sekretaris Daerah Kabupaten Tapanuli Selatan atau sebelum terpilih menjadi walikota Medan. Nasibnya kini berada di tangan Kejatisu apakah kasus korupsi itu hendak diteruskan sampai tingkat pengadilan atau tidak.

Walau masih terhitung baru dalam memimpin kota Medan, kurang dari dua tahun, sudah mulai tercium kontroversi seperti apa kelak yang bakal menjadi warna dominan dalam roda pemerintahannya. Namanya juga orang yang sedang tersandera. Mengikuti pola yang terjadi di Jakarta, barangkali akan banyak transaksi dengan berbagai pihak yang tujuannya bukan untuk menyenangkan rakyat.

Hanya beberapa bulan setelah menduduki kursinya sebagai pimpinan tertinggi eksekutif, Rahudman tak ragu-ragu menikmati kekuasaannya dengan membeli mobil dinas baru. Terbilang sangat wah. Berkwalifikasi off road dengan brand Jeep Wrangler. Siapa yang tak kenal kenderaan mewah yang banyak digandrungi kalangan berduit itu. Dibeli dengan harga Rp 1,1 miliar, paling tidak sepuluh unit Kiat Esemka bisa dibariskan di depan kantor walikota.

Sebagai orang nomor satu rupanya Rahudman tak cukup kuat menahan diri. Alih-alih menarik simpati publik dengan tidak menghambur-hamburkan uang rakyat dan tak membeli barang-barang yang sifatnya konsumtif, dia malah memberi contoh tak baik kepada seluruh bawahannya. Sorotan dan kritikan publik yang tak begitu keras terhadap sikapnya itu membuatnya terus melaju. The show must go on!

Belum lama berselang, Desember tahun lalu, sekitar seratus pedagang kaki lima yang sehari-harinya berdagang makanan dan minuman di belakang perguruan Harapan dikejutkan oleh rencana Pemko Medan yang hendak mendirikan Harapan Square. Bertajuk penataan, pemerintah berusaha mengorganisir pedagang di satu kawasan agar terkesan apik.

Sayangnya penataan yang dimaksudkan Rahudman disini maknanya bagai langit dan bumi bila dibandingkan dengan konsep Jokowi. Bukannya hendak membantu dan memanusiakan para pedagang kakilima agar hidupnya kian sejahtera dan lebih dihargai, yang terjadi malah sebaliknya. Para pedagang tidak diperkenankan lagi berdagang di tempatnya semula. Mereka diharuskan berjualan di tempat yang disediakan yang hingga kini tengah didirikan. Akan tetapi jangan kira gratis. Untuk setiap lapak mereka diharuskan membayar sejumlah tertentu. Sesudah resmi berbuka, setiap harinya akan dikenakan kewajiban sebesar Rp 70.000 perhari yang harus dibayar hingga lima tahun.

Singkatnya, penataan pedagang kakilima versi Rahudman jauh dari substansi yang diterapkan Jokowi. Penataan berarti memporakporandakan tempat berjualan milik pedagang tanpa peduli mereka akan jadi apa sesudahnya, mengerahkan Satpol PP untuk mengusir pedagang dari lapaknya, memeras pedagang dengan dalih penyediaan tempat baru yang lebih rapi dan permanen, dan sebagainya. Maka tak heran kalau kemudian muncul resistensi dan perlawanan oleh para pedagang. Lagi-lagi oleh Rahudman; the show must go on!

Di tempat berbeda dalam waktu yang sama, ketika Jokowi me-launching Kiat Esemka di Solo, di Medan Rahudman berkunjung ke RSU Dr Pirngadi. Tujuannya untuk menginspeksi kepatuhan para bawahannya agar tertib masuk kerja di awal tahun. Entahlah apakah dia juga memeriksa kelengkapan fasilitas yang menjadi kebutuhan pasien yang tersedia di RS yang menjadi andalan bagi pasien kelas menengah ke bawah tersebut.

Satu ketika di bulan September tahun lalu untuk keperluan membesuk ibu seorang teman yang terbaring sakit, penulis berkunjung ke RS Dr Pirngadi. Persis di dekat koridor menuju pintu masuk dua gedung megah tempat pasien di rawat inap ditempatkan satu keran air layak minum yang bisa dimanfaatkan siapa saja. Di situlah keluarga pasien yang tidak sedikit datang dari luar kota Medan mengambil air untuk diminum.

Seharusnya keran air layak minum itu sangat bermanfaat dan membantu. Akan tetapi karena aliran air yang sangat lamban menyebabkan waktu yang dibutuhkan untuk mengisi setiap satu botol air mineral ukuran 500cc terasa sangat lama yakni 15 menit. Akibatnya fasilitas yang dibuat pihak RS bersama PDAM Tirtanadi itu seakan tak berarti. Terutama di pagi hari, antrian panjang para pengisi air tak terelakkan. Sesungguhnya ada dua keran air, akan tetapi satu lagi yang berada di bagian belakang RS tidak berfungsi karena rusak. Apakah masalah ini diperhatikan oleh Rahudman dan Direktur RS yang adalah bawahannya?

Berharap rakyat menjadi senang di bawah kepemimpinan Rahudman adalah sebuah tanda tanya besar. Ibarat mimpi yang tak tahu apakah akan terwujud atau tidak. Sangkaan sebagai koruptor yang belum kunjung lepas pantas jadi faktor terbesar keraguan tersebut. Kalau begitu wajarlah jika warga Medan merasa iri terhadap rakyat Solo.

Haruskah Jokowi memimpin kota Medan agar semua rakyatnya senang?

*****

Penulis adalah Direktur Eksekutif Sekolah Pendidikan Politik “POLITICA INSTITUTE”

Tulisan ini pernah dimuat di SKH Analisa, Kamis, 19 Januari 2012

Rabu, 11 Januari 2012

Menimbang “Prestasi” Polisi di Sumut pada 2011



Oleh Parlindungan Sibuea

Persis di penghujung tahun 2011 Kapoldasu Irjen Pol Wisjnu Amat Sastro bersama seluruh anak buahnya mengumumkan capaian kerja mereka sepanjang tahun. Cara seperti ini merupakan rutinitas tahunan guna menjelaskan ke publik kerja keras penegakan hukum yang merupakan tanggung jawab mereka. Biasanya didahului Mabes Polri oleh Kapolri yang memaparkan kinerjanya secara nasional. Selanjutnya diikuti institusi yang sama di level provinsi.

Menyimak pernyataan Kapolda, tahun lalu kepolisian mengalami peningkatan penanganan kasus bila dibanding 2010. Dari 37.668 kasus menjadi 43.884 kasus, meningkat sebesar 16,3%. Secara serentak kasus-kasus menonjol seperti pencurian dengan pemberatan (curat) dan pencurian kenderaan bermotor (curanmor), keduanya mengalami peningkatan jumlah. Untuk curat, naik dari 6401 menjadi 7325 kasus. Curanmor lebih fantastis, kenaikannya lebih dari 2000 kasus. Semula 4301 kasus menjadi 6537. Kasus-kasus penganiayaan sedikit merosot, dari 3617 turun menjadi 3514.

Selanjutnya menyusul adalah kasus judi, narkoba, pencurian dengan kekerasan (curas), yang jumlahnya patut membuat kita menepuk dada. Kecuali curas, judi dan narkoba jumlahnya mencapai ribuan. Pembalakan hutan secara liar mencapai 102 kasus. Kasus perampokan kekayaan negara hanya 15 dimana sebesar delapan miliar rupiah dari Rp 29 miliar yang dikorupsi berhasil diselamatkan.

Kemajuan atau Kemunduran

Mencermati lonjakan penanganan kasus sebesar 16,3%, kesimpulan seperti apa yang bisa disematkan kepada kepolisian kita atas kinerja tersebut? Apakah capaian itu bisa diartikan sebagai kemajuan atau justru kemunduran? Berikutnya, patutkan kita berbangga atau sebaliknya malah kecewa?

Secara sederhana penulis ingin mengulas “prestasi” kepolisian daerah Sumatera Utara ini terlebih dari aspek manfaat yang didapatkan masyarakat. Sebagai garda terdepan penjaga keamanan tentu hanya jika masyarakat memperoleh manfaat nyata barulah dapat dikatakan polisi berhasil mengemban tugasnya dengan baik. Angka hanya bisa dijadikan petunjuk bahwa ada pekerjaan riil yang dilakukan polisi. Tapi soal kenyamanan yang berhasil diciptakan adalah cerita lain yang jauh lebih meyakinkan penilaiannya.

Setidaknya ada tiga alat ukur atau perspektif yang dapat diajukan guna menimbang apakah polisi berhasil menciptakan rasa aman yang sesungguhnya dari semua pekerjaan yang mereka lakukan.

Pertama, keamanan. Sumatera Utara dengan tingkat heterogenitasnya dalam berbagai bentuk yang demikian tinggi sangat berpotensi melahirkan gesekan yang bisa memicu terciptanya aneka gangguan keamanan. Dari sisi etnis, suku-suku yang hidup dan berkembang berciri mudah menyala atau meledak saat ada ketidaksesuaian bahkan untuk hal sepele sekalipun. Untuk itu diperlukan aneka pendekatan agar kondisi kondusif guna menyediakan ketentraman memenuhi kebutuhan. Untungnya dalam kesempatan yang sama etnis yang beragam ini tak begitu njelimet untuk dirangkul diajak bersama-sama membangun kerukunan atau harmonisasi. Terbukti ketika di banyak tempat di Indonesia terjadi pergolakan antar kelompok, belum ada satupun konflik berbasis etnis maupun keyakinan yang memorak-porandakan keamanan di wilayah ini.

Peluang tercabik-cabiknya kenyamanan atau keamanan di 33 kabupaten/kota di Sumut yang lebih rasional penyebabnya adalah kejahatan-kejahatan atau kriminalitas berupa pencurian beserta penganiayaan. Tentu pencurian disini termasuk di dalamnya dengan pemberatan, kekerasan atau kenderaan bermotor. Kita tahu pencurian selalu berimplikasi pada terjadinya proses pemiskinan pada korban yang mengalami tindak pencurian. Di tengah sulitnya pemenuhan kebutuhan akibat belum terbukanya kesempatan kerja seluas-luasnya, banyak warga bertahan hidup dengan apa saja barang miliknya. Sebaik mungkin aset miliknya dijaga agar tidak berpindah tangan menjadi milik orang lain. Ketika terjadi pencurian, sikap gelap mata sebagai titik awal pertikaian sulit dihindari. “Bersyukurlah” kita semua kalau ternyata lonjakan angka curat dan curanmor pada 2011 masing-masing sebesar 14,4% dan 52% belum menyulut api keributan yang bisa melahirkan kebakaran dimana-mana. Begitu pula pencurian dengan kekerasan yang dikabarkan volumenya menurun.

Barangkali yang sangat mungkin menimbulkan kecemasan serius adalah penganiayaan. Betul bahwa tahun 2011 jumlahnya memang menurun; dari 3617 menjadi 3514 kasus atau anjlok 2,8%. Laporan akhir tahun Poldasu tidak mem-breakdown secara detail penganiayaan-penganiayaan seperti apa yang ditangani sepanjang tahun lalu. Terlebih dari sisi pelakunya apakah organisasi pemuda dan kemasyarakatan, kelompok masyarakat , institusi pemerintah, atau bahkan kepolisian sendiri.

Sebuah catatan akhir tahun yang dipublikasikan beberapa LSM seperti Kontras dan Bakumsu tentang penegakan Hak Azasi Manusia di Sumut menarik untuk dicermati agar tak ceroboh menilai kinerja kepolisian. Dalam catatan yang dirilis beberapa hari sebelum laporan Poldasu tersebut dinyatakan, sebagai pelaku terbesar pelanggaran HAM kepolisian melakukan 31 penganiayaan. Jumlah tersebut bahkan merupakan yang terbanyak (29%) dari seluruh bentuk pelanggaran yang mereka lakukan. Total terdapat 107 tindakan yang mencerminkan pelecehan terhadap HAM yang pelakunya adalah punggawa-punggawa di institusi penjaga keamanan tersebut.

Benar bahwa Irjen Pol Wisjnu menyebutkan terdapat 807 pelanggaran disiplin oleh anak buahnya mulai dari tingkat terendah hingga perwira menengah. Kepada mereka sudah dijatuhkan berbagai bentuk sanksi hingga yang terberat yakni pemecatan atau pemberhentian tidak dengan hormat (PTDH). Akan jauh lebih elegan jika beliau menjelaskan lebih rinci benar terdapat anggotanya yang melakukan penganiayaan dan mengakibatkan gangguan kenyamanan atau keamanan.

Dalam bentuk yang lebih masif, penganiayaan oleh satu kelompok masyarakat terhadap kelompok lainnya boleh dikatakan tidak pernah berhenti di Sumatera Utara. Yang lazim terjadi biasanya terkait dengan sengketa kepemilikan tanah. Salah satu catatan Kontras dan Bakumsu adalah penyerangan massa dari PTPN III terhadap kelompok tani MBK dan Sidodadi di Desa Merbau Selatan, Kecamatan Merbau, Labuhanbatu Selatan. Penyerangan dan penganiayaan terhadap kedua kelompok tani yang mengklaim kepemilikan tanah seluas 71Ha disebutkan jadi memungkinkan karena tidak dicegah atau dihentikan pihak kepolisian yang berada di lokasi.

Contoh-contoh penganiayaan sebagaimana dialami kelompok tani MBK dan Sidodadi seharusnya tidak terjadi andai aparat keamanan berdiri di tengah. Biarlah hukum yang berbicara terhadap sengketa yang berlangsung. Akan tetapi penganiayaan tidak boleh berlangsung oleh siapapun dan atas alasan apapun. Keamanan akan jadi korban dan implikasinya akan sangat beragam. Kasus Mesuji dan Bima yang masih sangat segar dari ingatan kita harusnya dijadikan referensi betapa hukum harus jadi panglima dan berlaku sama terhadap siapa saja demi kokohnya keamanan.

Dari perspektif keamanan ini sangat sulit menyebutkan Poldasu sukses menjalankan tanggungjawabnya karena akar persoalan yang jadi pemicu nyaris tidak tersentuh.

Kedua, profesionalisme. Kembali memakai data Kontras dan Bakumsu sebagai komparasi, tahun lalu terjadi pembunuhan di luar prosedur hukum, penyiksaan, teror dan intimidasi, penyalahgunaan senjata api, pembiaran dan penangkapan sewenang-wenang, yang sekali lagi pelakunya adalah aparat kepolisian. Jumlah kasusnya beragam.

Point-nya bukanlah berapa banyak bentuk-bentuk ketidakprofesionalan itu dilakukan polisi dalam menjalankan amanat sebagai penjaga keamanan. Walau satu kalipun, ketika pelanggaran etika, mekanisme atau prosedur yang notabene adalah pelanggaran hukum dan pengkhianatan akan profesionalisme, dipraktikkan oleh oknum polisi, tentu akan menimbulkan trauma mendalam bagi masyarakat. Bagaimana mungkin penjaga keamanan akan menjalankan fungsinya sepenuh hati kalau merekalah sesungguhnya sumber keonaran itu.

Patut disyukuri kalau kejengkelan atau amarah masyarakat terhadap ketidakprofesionalan institusi kepolisian di Sumatera Utara jauh dari keinginan untuk melampiaskannya dalam bentuk tindakan anarkhis.

Lalu akankah kita menyebutkan Poldasu berhasil menjalankan perannya dengan baik bila aspek profesionalisme yang menjadi alat ukur? Jawabannya, tidak.

Ketiga, ekonomi. Dimanapun di dunia ini, tak hanya di Indonesia apalagi Sumatera Utara, aspek keamanan merupakan salah satu pilar utama bagi penguatan ekonomi. Kegagalan menyediakan keamanan secara menyeluruh sempat membuat Indonesia kewalahan untuk bangkit dari keterpurukan ekonomi. Butuh waktu panjang dan usaha tak sedikit guna meyakinkan pelaku usaha untuk membangun dan menciptakan lapangan usaha karena jaminan keamanan yang meragukan.

Begitu pulalah situasinya di Sumatera Utara. Ketidaknyamanan berusaha terlebih bagi masyarakat kecil hanya akan memperkaya segelintir orang. Akibatnya kemajuan ekonomi dalam arti yang lebih berkwalitas yang bisa dirasakan masyarakat luas tidak akan berlangsung. Selama ini sangat umum diketahui bahwa akses terhadap kepemilikan tanah atau potensi-potensi ekonomi hanya ada pada kalangan pengusaha baik swasta maupun BUMN. Ditambah para pejabat yang bisa mengendalikan pembuatan kebijakan.

Dalam bentuk angka betul bahwa Sumatera Utara berhasil melambungkan pertumbuhan ekonominya. Berhasil mendongkrak ekspor yang kemudian menambah devisa negara. Tapi berapa banyak yang ikut mencicipi keberhasilan itu, apakah rakyat yang nasibnya tidak menentu punya kesempatan menikmatinya?

Pertanyaan berikutnya, berhasilkah Poldasu menjalankan amanat yang diembannya pada 2011 jika mengacu pada aspek kemajuan ekonomi yang dirasakan masyarakat luas? Sepanjang akses terhadap potensi pembangunan ekonomi masih dijauhkan terutama dari masyarakat kecil dan lebih menganakemaskan pemilik modal besar, jawabannya belum. Hukum harusnya diberlakukan sama kepada semua warganegara. Tak terkecuali kepada para pengusaha.

Kwalitas bukan Kwantitas

Bagi kepolisian atau siapa saja, membuktikan kinerja lewat capaian dalam bentuk angka atau kwantitas bukanlah sesuatu yang keliru. Karena dengan angka-angka itu masyarakat jadi yakin ternyata polisi memang benar-benar bekerja. Terlebih karena begitu beragamnya problematika yang bisa memicu terganggunya keamanan. Dengan mudah masyarakat akan mengenali bentuk-bentuk gangguan itu berikut trend kejadiannya dari masa kemasa. Sehingga masyarakat jadi lebih tahu harus bersikap seperti apa untuk mengantisipasi. Atau bahkan mesti melakukan apa sebagai bentuk partisipasi.

Akan tetapi jika Poldasu tetap mengedepankan kwantitas dan mengabaikan kwalitas, tidak akan pernah ada penyelesaian persoalan dalam arti sesungguhnya. Seperti pemadam kebakaran saja, setiap saat persoalan akan kembali muncul.

Applaus kepada Poldasu yang dengan kesungguhannya pada 2011 bisa meyakinkan masyarakat melalui peningkatan kinerjanya ke arah yang lebih baik. Aspek keamanan, profesionalisme dan ekonomi hendaknya semakin dipahami dan dipegang teguh dalam setiap pelaksanaan tugasnya. Terlebih di 2012 yang diwanti-wanti akan memanas situasinya sehubungan akan adanya agenda politik berupa pemilukada gubernur yang seluruh prosesnya segera berlangsung.

Penulis adalah Direktur Eksekutif Sekolah Pendidikan Politik “POLITICA INSTITUTE”

*****

Artikel ini telah dimuat di SKH Analisa, Kamis, 5 Januari 2012