Kamis, 19 Januari 2012

Antara Joko Widodo dan Rahudman Harahap


Oleh Parlindungan Sibuea

Bisakah anda gambarkan air muka seperti apa yang akan terlihat di wajah Walikota Medan, Rahudman Harahap, bila saat ini didudukkan satu meja dengan Walikota Solo, Joko Widodo? Kemudian di hadapan keduanya berkumpul membaur warga masing-masing yakni dari Medan dan Solo. Senyum sumringahkah, menegakkan kepala pertanda percaya diri, tertawa kecut, tertunduk rendah diri dan minder, atau malu-malu laksana bocah kecil yang minta diajari sesuatu agar bisa memberi arti terhadap sekelilingnya?

Pekan lalu, minggu pertama tahun baru 2012, sepertinya tak satupun dari 200-an juta penduduk Indonesia yang tidak terhenyak atas sikap percaya diri Joko Widodo memperkenalkan mobil baru buatan siswa Sekolah Menengah Kejuruan di kota yang dipimpinnya. Tidak mau menunggu orang lain memberi apresiasi terhadap karya anak bangsa tersebut, walikota yang akrab disapa Jokowi ini ambil inisiatif menjadi customer atau pembeli pertama mobil yang kemudian dikenal dengan brand Kiat Esemka itu. Berapa harganya? Hanya Rp 95 juta.

Bandingkan dengan mobil Rahudman bermerek Jeep Wrangler yang dibeli pertengahan tahun lalu seharga Rp 1,1 miliar. Atau Toyota Cygnus berharga serupa yang sama-sama berstatus mobil dinas yang sudah dimiliki beberapa bulan sebelumnya.

Menyenangkan Rakyat

Perkara menyenangkan hati rakyat, Jokowi sepertinya merupakan tipikal pemimpin yang dilahirkan untuk tujuan itu. Sedari awal memimpin, periode pertama pada 2005-2010, ciri kepemimpinan yang tampil melalui berbagai kebijakan yang dilahirkan tidak satupun yang berusaha memarjinalkan rakyat. Akan tetapi warga justru dimanusiakan, di-wongke.

Berdasarkan konsep bertajuk “Solo’s Future is Solo’s Past” yang dimilikinya Jokowi membangun kotanya dimana rakyat tak cuma jadi penonton apalagi beban. Dengan peran masing-masing walau sebesar apapun seperti pedagang kakilima, mereka diajak membangun bersama-sama.

Disebutkan di berbagai media, pengalaman sebagai pengusaha mebel dan taman menghantarkannya melanglang ke kota-kota di berbagai negara di dunia. Dari situ kemudian dia mengenal masing-masing pola pembangunannya. Diantaranya Zagreb di Kroasia, Budapest di Hungaria dan juga kota-kota lainnya baik di Eropa maupun Asia. Kota-kota tersebut memiliki kesamaan dengan Solo, kaya dengan peninggalan karya-karya seni dan budaya. Inilah yang selanjutnya dijadikan mutiara bernilai jual tinggi guna menyedot pendapatan demi membangun wilayahnya.

Langkah pertama yang dilakukannya adalah penataan kota. Kaitannya dengan rasa dan kenyamanan calon pembeli baik yang datang dari dalam maupun luar negeri, mustahil menjual kekayaan budaya dan seni di tengah keruwetan lalulintas, carut marut peruntukan wilayah serta aktivitas masyarakat yang tidak terkontrol. Di fase ini konflik menanti dan pergesekan dengan masyarakat dipastikan bakal terbuka. Sebab kendati tidak sebesar Medan yang dikenal sebagai kota nomor tiga terbesar di Indonesia, fenomena perkotaan sebagaimana umumnya juga terjadi di Solo. Kebanyakan masyarakat hidup dengan mata pencaharian berdagang. Tepatnya pedagang kakilima.

Disini kepiawaian seorang Jokowi sebagai pimpinan yang tak bermental semena-mena; seenaknya menggusur warga dan memberangus sumber kehidupan mereka, dengan nyata terlihat. Bukan hal mudah meminta pedagang kakilima untuk mau pindah secara sukarela menempati tempat berdagang baru kendati dengan iming-iming gratis sekalipun. Karena seringkali pemerintah menyediakan tempat berjualan sebagai pengganti tanpa memikirkan kemungkinan pembeli akan mau datang seramai tempat semula. Bagi pemimpin yang malas dan tak kreatif biasanya menurunkan Satuan Polisi Pamong Praja atau Satpol PP adalah pilihan termudah. Empati kepada para pedagang yang notabene adalah warganya dicampakkan sejauh-jauhnya. Meski dengan cara menggunakan kekerasan sekalipun, pokoknya para pedagang mau pindah!

Tak begitu yang dilakukan Jokowi. Kurang lebih seribu pedagang pasar tradisional Banjarsari yang terhimpun dalam beberapa paguyuban, yang hendak direlokasi ke tempat baru Pasar Klitikan, para kordinatornya diundang makan bersama di rumah dinas walikota. Sebuah pendekatan yang sangat humanis. Memanusiakan manusia. Bukan satu atau dua kali saja, upaya meluluhkan hati pedagang agar mau memindahkan tempat berjualannya lewat acara makan bersama tersebut dilakukan sebanyak lebih dari 50 kali. Barulah kemudian rencana itu disampaikan.

Dan tak sekedar makan bersama. Upaya meyakinkan para pedagang bahwa mereka akan tetap sejahtera kendati berjualan di tempat baru dilakukan dengan beberapa kebijakan lainnya yang sangat inovatif. Selama empat bulan Pasar Klitikan diiklankan di televisi dan media cetak lokal. Akses jalan raya menuju pasar dibangun menjadi lebih lebar, trayek baru angkutan kota yang memudahkan pembeli datang berbelanja juga dibuka.

Kalau pemerintah sudah sangat bersahabat seperti yang ditunjukkan Jokowi, adakah rakyat yang akan membangkang?

Dia berkeyakinan sepanjang para pedagang kakilima ditata dan diberdayakan sebaik-baiknya, mereka pasti akan berkontribusi bagi pembangunan ekonomi. Maka sangat keliru jika menganggap para wong cilik itu sebagai musuh, sebaliknya adalah patner.

Buktinya, pada 2008 sektor yang kerap dipandang sebelah mata akibat diasumsikan becek dan bau ini berhasil menyumbang pendapatan dari sisi retribusi sebesar Rp 14,2 miliar. Jauh melampaui mall yang hanya mencapai Rp 4 miliar. Itulah buah yang didapatkan dari penataan dan pembangunan ulang 12 pasar tradisional. Dengan jumlah 38 yang ada, tinggal kalikan saja berapa nilai pendapatan asli daerah yang bakal dihasilkan.

Jadi tak usah heran kalau kemudian Jokowi memperkenalkan mobil Kiat Esemka buatan warganya. Menyusul promosi yang dilakukannya banyak pejabat pusat dan daerah kini berlomba-lomba tak sekedar ingin mengetahui, tetapi juga membeli. Ketua DPR RI Marzuki dan beberapa anggota DPR sudah menyatakan niat untuk memiliki Esemka. Menteri Pendidikan Nasional Muhammad Nuh bahkan berniat menghadiahkan mobil tersebut kepada bosnya, Presiden Susilo Bambang Yuhoyono.

Satu lagi cara Jokowi untuk menyenangkan rakyatnya. Sungguh benar-benar pemimpin yang bersahaja dan penuh kreasi.

Bagaimana dengan Rahudman?

Mari kita bandingkan Rahudman dengan Jokowi. Lupakan sejenak tindak korupsi yang disangkakan padanya akibat menggelapkan uang negara sebesar Rp 13,8 miliar. Dana tersebut ditilapnya ketika menjabat Sekretaris Daerah Kabupaten Tapanuli Selatan atau sebelum terpilih menjadi walikota Medan. Nasibnya kini berada di tangan Kejatisu apakah kasus korupsi itu hendak diteruskan sampai tingkat pengadilan atau tidak.

Walau masih terhitung baru dalam memimpin kota Medan, kurang dari dua tahun, sudah mulai tercium kontroversi seperti apa kelak yang bakal menjadi warna dominan dalam roda pemerintahannya. Namanya juga orang yang sedang tersandera. Mengikuti pola yang terjadi di Jakarta, barangkali akan banyak transaksi dengan berbagai pihak yang tujuannya bukan untuk menyenangkan rakyat.

Hanya beberapa bulan setelah menduduki kursinya sebagai pimpinan tertinggi eksekutif, Rahudman tak ragu-ragu menikmati kekuasaannya dengan membeli mobil dinas baru. Terbilang sangat wah. Berkwalifikasi off road dengan brand Jeep Wrangler. Siapa yang tak kenal kenderaan mewah yang banyak digandrungi kalangan berduit itu. Dibeli dengan harga Rp 1,1 miliar, paling tidak sepuluh unit Kiat Esemka bisa dibariskan di depan kantor walikota.

Sebagai orang nomor satu rupanya Rahudman tak cukup kuat menahan diri. Alih-alih menarik simpati publik dengan tidak menghambur-hamburkan uang rakyat dan tak membeli barang-barang yang sifatnya konsumtif, dia malah memberi contoh tak baik kepada seluruh bawahannya. Sorotan dan kritikan publik yang tak begitu keras terhadap sikapnya itu membuatnya terus melaju. The show must go on!

Belum lama berselang, Desember tahun lalu, sekitar seratus pedagang kaki lima yang sehari-harinya berdagang makanan dan minuman di belakang perguruan Harapan dikejutkan oleh rencana Pemko Medan yang hendak mendirikan Harapan Square. Bertajuk penataan, pemerintah berusaha mengorganisir pedagang di satu kawasan agar terkesan apik.

Sayangnya penataan yang dimaksudkan Rahudman disini maknanya bagai langit dan bumi bila dibandingkan dengan konsep Jokowi. Bukannya hendak membantu dan memanusiakan para pedagang kakilima agar hidupnya kian sejahtera dan lebih dihargai, yang terjadi malah sebaliknya. Para pedagang tidak diperkenankan lagi berdagang di tempatnya semula. Mereka diharuskan berjualan di tempat yang disediakan yang hingga kini tengah didirikan. Akan tetapi jangan kira gratis. Untuk setiap lapak mereka diharuskan membayar sejumlah tertentu. Sesudah resmi berbuka, setiap harinya akan dikenakan kewajiban sebesar Rp 70.000 perhari yang harus dibayar hingga lima tahun.

Singkatnya, penataan pedagang kakilima versi Rahudman jauh dari substansi yang diterapkan Jokowi. Penataan berarti memporakporandakan tempat berjualan milik pedagang tanpa peduli mereka akan jadi apa sesudahnya, mengerahkan Satpol PP untuk mengusir pedagang dari lapaknya, memeras pedagang dengan dalih penyediaan tempat baru yang lebih rapi dan permanen, dan sebagainya. Maka tak heran kalau kemudian muncul resistensi dan perlawanan oleh para pedagang. Lagi-lagi oleh Rahudman; the show must go on!

Di tempat berbeda dalam waktu yang sama, ketika Jokowi me-launching Kiat Esemka di Solo, di Medan Rahudman berkunjung ke RSU Dr Pirngadi. Tujuannya untuk menginspeksi kepatuhan para bawahannya agar tertib masuk kerja di awal tahun. Entahlah apakah dia juga memeriksa kelengkapan fasilitas yang menjadi kebutuhan pasien yang tersedia di RS yang menjadi andalan bagi pasien kelas menengah ke bawah tersebut.

Satu ketika di bulan September tahun lalu untuk keperluan membesuk ibu seorang teman yang terbaring sakit, penulis berkunjung ke RS Dr Pirngadi. Persis di dekat koridor menuju pintu masuk dua gedung megah tempat pasien di rawat inap ditempatkan satu keran air layak minum yang bisa dimanfaatkan siapa saja. Di situlah keluarga pasien yang tidak sedikit datang dari luar kota Medan mengambil air untuk diminum.

Seharusnya keran air layak minum itu sangat bermanfaat dan membantu. Akan tetapi karena aliran air yang sangat lamban menyebabkan waktu yang dibutuhkan untuk mengisi setiap satu botol air mineral ukuran 500cc terasa sangat lama yakni 15 menit. Akibatnya fasilitas yang dibuat pihak RS bersama PDAM Tirtanadi itu seakan tak berarti. Terutama di pagi hari, antrian panjang para pengisi air tak terelakkan. Sesungguhnya ada dua keran air, akan tetapi satu lagi yang berada di bagian belakang RS tidak berfungsi karena rusak. Apakah masalah ini diperhatikan oleh Rahudman dan Direktur RS yang adalah bawahannya?

Berharap rakyat menjadi senang di bawah kepemimpinan Rahudman adalah sebuah tanda tanya besar. Ibarat mimpi yang tak tahu apakah akan terwujud atau tidak. Sangkaan sebagai koruptor yang belum kunjung lepas pantas jadi faktor terbesar keraguan tersebut. Kalau begitu wajarlah jika warga Medan merasa iri terhadap rakyat Solo.

Haruskah Jokowi memimpin kota Medan agar semua rakyatnya senang?

*****

Penulis adalah Direktur Eksekutif Sekolah Pendidikan Politik “POLITICA INSTITUTE”

Tulisan ini pernah dimuat di SKH Analisa, Kamis, 19 Januari 2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar