Rabu, 11 Januari 2012

Menimbang “Prestasi” Polisi di Sumut pada 2011



Oleh Parlindungan Sibuea

Persis di penghujung tahun 2011 Kapoldasu Irjen Pol Wisjnu Amat Sastro bersama seluruh anak buahnya mengumumkan capaian kerja mereka sepanjang tahun. Cara seperti ini merupakan rutinitas tahunan guna menjelaskan ke publik kerja keras penegakan hukum yang merupakan tanggung jawab mereka. Biasanya didahului Mabes Polri oleh Kapolri yang memaparkan kinerjanya secara nasional. Selanjutnya diikuti institusi yang sama di level provinsi.

Menyimak pernyataan Kapolda, tahun lalu kepolisian mengalami peningkatan penanganan kasus bila dibanding 2010. Dari 37.668 kasus menjadi 43.884 kasus, meningkat sebesar 16,3%. Secara serentak kasus-kasus menonjol seperti pencurian dengan pemberatan (curat) dan pencurian kenderaan bermotor (curanmor), keduanya mengalami peningkatan jumlah. Untuk curat, naik dari 6401 menjadi 7325 kasus. Curanmor lebih fantastis, kenaikannya lebih dari 2000 kasus. Semula 4301 kasus menjadi 6537. Kasus-kasus penganiayaan sedikit merosot, dari 3617 turun menjadi 3514.

Selanjutnya menyusul adalah kasus judi, narkoba, pencurian dengan kekerasan (curas), yang jumlahnya patut membuat kita menepuk dada. Kecuali curas, judi dan narkoba jumlahnya mencapai ribuan. Pembalakan hutan secara liar mencapai 102 kasus. Kasus perampokan kekayaan negara hanya 15 dimana sebesar delapan miliar rupiah dari Rp 29 miliar yang dikorupsi berhasil diselamatkan.

Kemajuan atau Kemunduran

Mencermati lonjakan penanganan kasus sebesar 16,3%, kesimpulan seperti apa yang bisa disematkan kepada kepolisian kita atas kinerja tersebut? Apakah capaian itu bisa diartikan sebagai kemajuan atau justru kemunduran? Berikutnya, patutkan kita berbangga atau sebaliknya malah kecewa?

Secara sederhana penulis ingin mengulas “prestasi” kepolisian daerah Sumatera Utara ini terlebih dari aspek manfaat yang didapatkan masyarakat. Sebagai garda terdepan penjaga keamanan tentu hanya jika masyarakat memperoleh manfaat nyata barulah dapat dikatakan polisi berhasil mengemban tugasnya dengan baik. Angka hanya bisa dijadikan petunjuk bahwa ada pekerjaan riil yang dilakukan polisi. Tapi soal kenyamanan yang berhasil diciptakan adalah cerita lain yang jauh lebih meyakinkan penilaiannya.

Setidaknya ada tiga alat ukur atau perspektif yang dapat diajukan guna menimbang apakah polisi berhasil menciptakan rasa aman yang sesungguhnya dari semua pekerjaan yang mereka lakukan.

Pertama, keamanan. Sumatera Utara dengan tingkat heterogenitasnya dalam berbagai bentuk yang demikian tinggi sangat berpotensi melahirkan gesekan yang bisa memicu terciptanya aneka gangguan keamanan. Dari sisi etnis, suku-suku yang hidup dan berkembang berciri mudah menyala atau meledak saat ada ketidaksesuaian bahkan untuk hal sepele sekalipun. Untuk itu diperlukan aneka pendekatan agar kondisi kondusif guna menyediakan ketentraman memenuhi kebutuhan. Untungnya dalam kesempatan yang sama etnis yang beragam ini tak begitu njelimet untuk dirangkul diajak bersama-sama membangun kerukunan atau harmonisasi. Terbukti ketika di banyak tempat di Indonesia terjadi pergolakan antar kelompok, belum ada satupun konflik berbasis etnis maupun keyakinan yang memorak-porandakan keamanan di wilayah ini.

Peluang tercabik-cabiknya kenyamanan atau keamanan di 33 kabupaten/kota di Sumut yang lebih rasional penyebabnya adalah kejahatan-kejahatan atau kriminalitas berupa pencurian beserta penganiayaan. Tentu pencurian disini termasuk di dalamnya dengan pemberatan, kekerasan atau kenderaan bermotor. Kita tahu pencurian selalu berimplikasi pada terjadinya proses pemiskinan pada korban yang mengalami tindak pencurian. Di tengah sulitnya pemenuhan kebutuhan akibat belum terbukanya kesempatan kerja seluas-luasnya, banyak warga bertahan hidup dengan apa saja barang miliknya. Sebaik mungkin aset miliknya dijaga agar tidak berpindah tangan menjadi milik orang lain. Ketika terjadi pencurian, sikap gelap mata sebagai titik awal pertikaian sulit dihindari. “Bersyukurlah” kita semua kalau ternyata lonjakan angka curat dan curanmor pada 2011 masing-masing sebesar 14,4% dan 52% belum menyulut api keributan yang bisa melahirkan kebakaran dimana-mana. Begitu pula pencurian dengan kekerasan yang dikabarkan volumenya menurun.

Barangkali yang sangat mungkin menimbulkan kecemasan serius adalah penganiayaan. Betul bahwa tahun 2011 jumlahnya memang menurun; dari 3617 menjadi 3514 kasus atau anjlok 2,8%. Laporan akhir tahun Poldasu tidak mem-breakdown secara detail penganiayaan-penganiayaan seperti apa yang ditangani sepanjang tahun lalu. Terlebih dari sisi pelakunya apakah organisasi pemuda dan kemasyarakatan, kelompok masyarakat , institusi pemerintah, atau bahkan kepolisian sendiri.

Sebuah catatan akhir tahun yang dipublikasikan beberapa LSM seperti Kontras dan Bakumsu tentang penegakan Hak Azasi Manusia di Sumut menarik untuk dicermati agar tak ceroboh menilai kinerja kepolisian. Dalam catatan yang dirilis beberapa hari sebelum laporan Poldasu tersebut dinyatakan, sebagai pelaku terbesar pelanggaran HAM kepolisian melakukan 31 penganiayaan. Jumlah tersebut bahkan merupakan yang terbanyak (29%) dari seluruh bentuk pelanggaran yang mereka lakukan. Total terdapat 107 tindakan yang mencerminkan pelecehan terhadap HAM yang pelakunya adalah punggawa-punggawa di institusi penjaga keamanan tersebut.

Benar bahwa Irjen Pol Wisjnu menyebutkan terdapat 807 pelanggaran disiplin oleh anak buahnya mulai dari tingkat terendah hingga perwira menengah. Kepada mereka sudah dijatuhkan berbagai bentuk sanksi hingga yang terberat yakni pemecatan atau pemberhentian tidak dengan hormat (PTDH). Akan jauh lebih elegan jika beliau menjelaskan lebih rinci benar terdapat anggotanya yang melakukan penganiayaan dan mengakibatkan gangguan kenyamanan atau keamanan.

Dalam bentuk yang lebih masif, penganiayaan oleh satu kelompok masyarakat terhadap kelompok lainnya boleh dikatakan tidak pernah berhenti di Sumatera Utara. Yang lazim terjadi biasanya terkait dengan sengketa kepemilikan tanah. Salah satu catatan Kontras dan Bakumsu adalah penyerangan massa dari PTPN III terhadap kelompok tani MBK dan Sidodadi di Desa Merbau Selatan, Kecamatan Merbau, Labuhanbatu Selatan. Penyerangan dan penganiayaan terhadap kedua kelompok tani yang mengklaim kepemilikan tanah seluas 71Ha disebutkan jadi memungkinkan karena tidak dicegah atau dihentikan pihak kepolisian yang berada di lokasi.

Contoh-contoh penganiayaan sebagaimana dialami kelompok tani MBK dan Sidodadi seharusnya tidak terjadi andai aparat keamanan berdiri di tengah. Biarlah hukum yang berbicara terhadap sengketa yang berlangsung. Akan tetapi penganiayaan tidak boleh berlangsung oleh siapapun dan atas alasan apapun. Keamanan akan jadi korban dan implikasinya akan sangat beragam. Kasus Mesuji dan Bima yang masih sangat segar dari ingatan kita harusnya dijadikan referensi betapa hukum harus jadi panglima dan berlaku sama terhadap siapa saja demi kokohnya keamanan.

Dari perspektif keamanan ini sangat sulit menyebutkan Poldasu sukses menjalankan tanggungjawabnya karena akar persoalan yang jadi pemicu nyaris tidak tersentuh.

Kedua, profesionalisme. Kembali memakai data Kontras dan Bakumsu sebagai komparasi, tahun lalu terjadi pembunuhan di luar prosedur hukum, penyiksaan, teror dan intimidasi, penyalahgunaan senjata api, pembiaran dan penangkapan sewenang-wenang, yang sekali lagi pelakunya adalah aparat kepolisian. Jumlah kasusnya beragam.

Point-nya bukanlah berapa banyak bentuk-bentuk ketidakprofesionalan itu dilakukan polisi dalam menjalankan amanat sebagai penjaga keamanan. Walau satu kalipun, ketika pelanggaran etika, mekanisme atau prosedur yang notabene adalah pelanggaran hukum dan pengkhianatan akan profesionalisme, dipraktikkan oleh oknum polisi, tentu akan menimbulkan trauma mendalam bagi masyarakat. Bagaimana mungkin penjaga keamanan akan menjalankan fungsinya sepenuh hati kalau merekalah sesungguhnya sumber keonaran itu.

Patut disyukuri kalau kejengkelan atau amarah masyarakat terhadap ketidakprofesionalan institusi kepolisian di Sumatera Utara jauh dari keinginan untuk melampiaskannya dalam bentuk tindakan anarkhis.

Lalu akankah kita menyebutkan Poldasu berhasil menjalankan perannya dengan baik bila aspek profesionalisme yang menjadi alat ukur? Jawabannya, tidak.

Ketiga, ekonomi. Dimanapun di dunia ini, tak hanya di Indonesia apalagi Sumatera Utara, aspek keamanan merupakan salah satu pilar utama bagi penguatan ekonomi. Kegagalan menyediakan keamanan secara menyeluruh sempat membuat Indonesia kewalahan untuk bangkit dari keterpurukan ekonomi. Butuh waktu panjang dan usaha tak sedikit guna meyakinkan pelaku usaha untuk membangun dan menciptakan lapangan usaha karena jaminan keamanan yang meragukan.

Begitu pulalah situasinya di Sumatera Utara. Ketidaknyamanan berusaha terlebih bagi masyarakat kecil hanya akan memperkaya segelintir orang. Akibatnya kemajuan ekonomi dalam arti yang lebih berkwalitas yang bisa dirasakan masyarakat luas tidak akan berlangsung. Selama ini sangat umum diketahui bahwa akses terhadap kepemilikan tanah atau potensi-potensi ekonomi hanya ada pada kalangan pengusaha baik swasta maupun BUMN. Ditambah para pejabat yang bisa mengendalikan pembuatan kebijakan.

Dalam bentuk angka betul bahwa Sumatera Utara berhasil melambungkan pertumbuhan ekonominya. Berhasil mendongkrak ekspor yang kemudian menambah devisa negara. Tapi berapa banyak yang ikut mencicipi keberhasilan itu, apakah rakyat yang nasibnya tidak menentu punya kesempatan menikmatinya?

Pertanyaan berikutnya, berhasilkah Poldasu menjalankan amanat yang diembannya pada 2011 jika mengacu pada aspek kemajuan ekonomi yang dirasakan masyarakat luas? Sepanjang akses terhadap potensi pembangunan ekonomi masih dijauhkan terutama dari masyarakat kecil dan lebih menganakemaskan pemilik modal besar, jawabannya belum. Hukum harusnya diberlakukan sama kepada semua warganegara. Tak terkecuali kepada para pengusaha.

Kwalitas bukan Kwantitas

Bagi kepolisian atau siapa saja, membuktikan kinerja lewat capaian dalam bentuk angka atau kwantitas bukanlah sesuatu yang keliru. Karena dengan angka-angka itu masyarakat jadi yakin ternyata polisi memang benar-benar bekerja. Terlebih karena begitu beragamnya problematika yang bisa memicu terganggunya keamanan. Dengan mudah masyarakat akan mengenali bentuk-bentuk gangguan itu berikut trend kejadiannya dari masa kemasa. Sehingga masyarakat jadi lebih tahu harus bersikap seperti apa untuk mengantisipasi. Atau bahkan mesti melakukan apa sebagai bentuk partisipasi.

Akan tetapi jika Poldasu tetap mengedepankan kwantitas dan mengabaikan kwalitas, tidak akan pernah ada penyelesaian persoalan dalam arti sesungguhnya. Seperti pemadam kebakaran saja, setiap saat persoalan akan kembali muncul.

Applaus kepada Poldasu yang dengan kesungguhannya pada 2011 bisa meyakinkan masyarakat melalui peningkatan kinerjanya ke arah yang lebih baik. Aspek keamanan, profesionalisme dan ekonomi hendaknya semakin dipahami dan dipegang teguh dalam setiap pelaksanaan tugasnya. Terlebih di 2012 yang diwanti-wanti akan memanas situasinya sehubungan akan adanya agenda politik berupa pemilukada gubernur yang seluruh prosesnya segera berlangsung.

Penulis adalah Direktur Eksekutif Sekolah Pendidikan Politik “POLITICA INSTITUTE”

*****

Artikel ini telah dimuat di SKH Analisa, Kamis, 5 Januari 2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar