Selasa, 28 Februari 2012

Kecurangan Perusahaan Raksasa Sekelas Telkom


Oleh Parlindungan Sibuea

Apalah artinya uang sebesar Rp 10.000 bagi perusahaan raksasa sekelas PT Telekomunikasi Indonesia (Telkom)? Jawabannya pasti sangat tidak ada apa-apanya.

Dengan laba bersih Rp 11,5 triliun pada 2010, perusahaan yang menjual jasa telekomunikasi dalam berbagai bentuk seperti sambungan telepon dan koneksi internet ini sukses merebut posisi sebagai best of the best BUMN. Hampir mustahil tahun 2011 nilai keuntungan itu tidak melonjak sebab pada jangka waktu enam bulan pertama saja Telkom berhasil membukukan angka Rp 5,9 triliun.

Maka tidak heran kalau kemudian perusahaan ini seperti panen beragam pengakuan sebagai institusi bisnis terbaik. Tak hanya dari dalam negeri tetapi juga internasional. Juli tahun lalu, misalnya, majalah Finance Asia menganugerahkan empat kategori penghargaan sekaligus. Diantaranya Best Corporate Governance dan Asia’s Best Managed Company. Dari sekian banyak perusahaan di Asia, Telkom ditetapkan sebagai yang terbaik.

Berselang dua bulan, pada September lagi-lagi international acknowledgement berhasil disabet. Gelar The Most Consistent Dividend Policy and Strongest Adherence to Corpoarate Governance disematkan oleh Telkom Alpha Southeast Asia kepada Telkom.

Puncaknya, kalau memang bisa dikatakan demikian, oleh sebuah majalah ekonomi nasional Desember lalu Rinaldi Firmansyah yang tak lain adalah pimpinan tertinggi Telkom dianugerahi penghargaan sebagai The Most Admire CEO. Sebuah pengakuan yang sangat prestisius karena berhasil menyisihkan banyak sekali pimpinan-pimpinan bisnis yang kwalifikasinya tak kalah mengagumkan.

Di balik semua kemilau itu benarkah Telkom se-perfect penilaian berbagai lembaga pemberi penghargaan tersebut dan tak memiliki cacat sebagai akibat aneka kecurangan yang dilakukan kepada pelanggan?

Kecurangan Telkom

Begitu pesatnya kompetisi di industri telekomunikasi di dunia sebagai akibat penemuan-penemuan teknologi yang begitu pesat memaksa para pelaku usahanya mengadopsi setiap apa saja inovasi yang diperkenalkan. Sebagaimana diketahui Telkom bersama seluruh anak perusahaannya bukanlah the only player penyedia jasa apakah itu untuk telepon rumah, telepon seluler, sambungan internet, televisi berlangganan, dan sebagainya. Ada pemain-pemain lain yang tak kalah tangguh dan cerdas dalam menangkap pasar. Itu sebabnya suka atau tidak, demi merambah market yang luas atau agar terkesan lebih unggul dari kompetitor, hampir tak satupun operator telekomunikasi yang tidak innovation minded.

Berbagai kemajuan teknologi; hardware maupun software, bagi Telkom dan para pesaingnya sebisa mungkin tidak ada yang tak dimiliki. Prinsipnya, kalau bisa lebih mumpuni dari tetangga kenapa harus tertinggal.

Itu sebabnya ketika beberapa tahun lalu teknologi 3G atau generasi ketiga yang memampukan setiap pelanggan berkomunikasi dengan saling bertatap muka lewat masing-masing gadget-nya, mana ada operator yang tidak bergegas ingin mengimplementasikannya. Apalagi ketika itu perangkat kerasnya berupa telepon genggam sudah lebih dulu membanjiri pasar. Handphone dari berbagai vendor seperti Sony Ericsson, Nokia, Motorolla, Samsung, dan sebagainya hadir mendikte pasar seakan-akan 3G adalah sebuah keniscayaan.

Sifat powerful 3G yang berbasis Wide-CDMA (code division multiple access)-nya mampu menghantarkan data berbentuk gambar dalam waktu yang menakjubkan. Baik gambar statis berupa foto maupun bergerak berbentuk film atau video. Jadi tak usah heran jika penyebaran video-video porno yang saat ini kerap terjadi sekejap saja sudah sampai kemana-mana.

Ketika teknologi generasi terbaru yang lebih maju yakni Wi-max (3,5G) dan Long Term Evolution (4G) mulai ramai dibicarakan, nyaris tak satupun provider yang rela ketinggalan. Dalam skala tertentu keduanya coba diadopsi. Tentu saja Telkom berusaha menjadi yang terdepan. Lewat anak emasnya Telkomsel, mereka menjadi salah satu pemegang lisensi perluasan jaringan internet berbasis Wi-Max di beberapa wilayah di Indonesia.

Sesungguhnya tengah terjadi sebuah kontradiksi dalam “pertarungan” antar teknologi ini. Disebut-sebut operator yang sudah menginvestasikan duitnya dalam jumlah yang tidak sedikit untuk implementasi 3G masih membutuhkan waktu agar bisa meraup keuntungan. Tak sekedar balik modal atau break even point. Apa daya masuknya inivasi-inovasi terbaru dari berbagai belahan dunia adalah sesuatu yang tak mungkin dibendung. Untuk sekedar menunjukkan sebagai yang terdepan dalam penyediaan teknologi, maka apa saja yang hadir terpaksa ditangkap. Walau potensi bisnisnya sesungguhnya masih gelap.

Akan tetapi untuk apa semua teknologi yang bisa melahirkan dagangan termutakhir itu diserap kalau ternyata manusia-manusia yang berada di belakangnya kecakapannya tak memenuhi kwalifikasi untuk memperjualbelikannya. Alih-alih mencetak laba dan meningkatkan keperkasaan perusahaan, bisa-bisa citra baik yang dibangun dalam rentang waktu tak sekejap jadi berantakan. Selanjutnya pengakuan-pengakuan akan kedigdayaan sebagai “the best” atau “the most” ikut-ikutan luntur.

Itulah yang belum lama ini menjadi keprihatinan penulis. Ketika Telkom dengan segala ambisinya untuk bertahan sebagai market leader selama mungkin di pasar nasional, dengan segala keberaniannya berinvestasi agar selalu menjadi trend setter dalam hal penggunaan teknologi, ternyata terdapat mata rantai lain dalam struktur pelaksana usahanya yang belum cukup handal menjadi penyokong.

Penulis yang merupakan pelanggan Telkom untuk produk telepon rumah atau PSTN (Public Switched Telephone Network) diherankan oleh pembayaran bulanan yang salah satu komponennya adalah fitur. Bersama komponen abonemen tertera di kwitansi nilai kewajiban yang harus dibayarkan sebagai imbal jasa telekomunikasi yang sudah dinikmati. Kalau abonemen sudah dipahami apa maksudnya sedangkan fitur tak begitu jelas entah benda apa dan kenapa harus dibayar.

Terregistrasi sebagai pelanggan sejak September 2011 pembayaran pertama dilakukan pada bulan Oktober. Disinilah persoalan bermula. Sebagai customer baru sebenarnya sangat lumrah kalau penulis diberi penjelasan tentang komponen-komponen yang harus dibayarkan agar clear dan terhindar dari complain di kemudian hari. Entah karena tenaga penerima pembayaran adalah outsourcing atau pihak ketiga yang biasanya adalah wanita-wanita berparas ayu sehingga tak mau ambil pusing akan keheranan pelanggan atau memang seperti itulah SOP-nya, hanya Telkom yang tahu. Apa arti fitur tetap jadi tanda Tanya.

Demikian seterusnya bulan demi bulan berlalu tapi keheranan penulis belum terjawab. Ketika hal tersebut dipertanyakan, para neng geulis yang bertugas hanya berkata bahwa fitur itu adalah ID Color yang memungkinkan pelanggan mengenali nomor telepon yang masuk menghubunginya sebagaimana tampil di layar handphone. Itu sebabnya dikenakan biaya Rp 10.000.

Keheranan berlanjut. Tanpa berusaha meminta penjelasan jenis pesawat telepon seperti apa yang digunakan, si enneng main tagih saja. Padahal penulis tidak menggunakan tipe pesawat yang memiliki ID Color seperti dimaksud sehingga tak ada kewajiban membayar biaya fitur.

Selama beberapa bulan menjadi pelanggan, dengan kewajiban tambahan membayar Rp 10.000 perbulan, sebesar itulah kerugian yang dirasakan akibat kecurangan Telkom. Bayangkan berapa keuntungan cuma-cuma yang mereka dapatkan setiap bulannya dari pelanggan PSTN yang pada pertengahan 2011 lalu jumlahnya lebih dari 8,4 juta. Andai separuhnya saja yang bernasib sama sebagaimana penulis, nilainya setara dengan Rp 42 miliar. Bukankah dalam setahun kontribusinya sangat signifikan guna menggenapi triliunan rupiah keuntungan Telkom?

Itu hanya dari produk PSTN, bagaimana dengan produk-produk lainnya yang juga berpotensi untuk berbuat hal-hal curang?

Kecurangan telah melambungkan Telkom mencapai laba triliunan rupiah setiap tahun. Kecurangan pula yang menerbangkan Telkom berikut para direksinya dicatat dengan tinta emas sebagai pelaku usaha berkelas bintang.

Uang senilai Rp 10.000 memang tak ada artinya dibanding angka Rp 11,5 triliun. Tapi jumlah itu tidak akan bisa dicapai jika kurang Rp 10.000.

Good Corporate Governance

Sebagaimana Toyota Motor Corporation yang memegang teguh prinsip-prinsip Good Corporate Governance (GCG) tidak seharusnya Telkom abai terhadap “kesalahan kecil” seperti yang merugikan penulis. Tahun lalu dikabarkan karena tak mau mengecewakan konsumen yang pada gilirannya bisa merusak reputasi perusahaan, Toyota melakukan recall terhadap 550.000 unit produknya yang sudah sempat berbedar di pasar.

Sebelum terjadi hal-hal yang mengancam keselamatan jiwa penggunanya akibat ketidaksempurnaan sistem kemudi, perusahaan otomotif terkemuka dari Jepang itu memutuskan lebih baik menanggung kerugian. Begitulah Toyota menempatkan konsumen sebagai stakeholder yang harus dipuaskan dan menjamin GCG agar benar-benar terimplementasikan.

Akan halnya Telkom, dalam bentuk kelalaian yang berbeda, tak ada alasan meletakkan tanggungjawab kepada pihak ketiga yang menyediakan tenaga outsourcing. Sebagai perusahaan yang pernah ditabalkan selaku yang terbaik dalam penerapan GCG harusnya dipastikan bahwa pihak lain yang digandeng sebagai partner benar-benar in line dengan visinya. Sehingga tak perlu terjadi kesalahan walau sekecil apapun. Sebab sekali itu terjadi akan sangat sulit memperbaikinya. Terlebih karena begitu banyaknya penyedia jasa telekomunikasi, pelanggan akan sangat mudah menjatuhkan “hukuman” dengan cara pindah ke operator tetangga.

Rasanya sangat tidak tepat jika Telkom bersikap pasif menunggu lahirnya kebijakan pemerintah sebagai regulator agar mau memperbaiki kwalitas produk atau layanan. Tak perlu harus menjadi seperti maskapai-maskapai penerbangan nasional yang terpaksa membenahi kebiasaan buruknya untuk terbang on time sebagai akibat terbitnya Permenhub Nomor 77 Tahun 2011. Sebab peraturan dan hukuman tak tertulis dari konsumen jauh lebih menakutkan dan maha berat menebusnya. Itulah bayarannya jika trust atau kepercayaan yang jadi nafas dalam berusaha tak sungguh-sungguh dipelihara.

*****

Penulis adalah pelanggan PSTN Telkom

Setelah mengalami pengeditan, artikel ini pernah dimuat di SKH Analisa, Selasa – 28/2/2012