Kamis, 19 Januari 2012

Antara Joko Widodo dan Rahudman Harahap


Oleh Parlindungan Sibuea

Bisakah anda gambarkan air muka seperti apa yang akan terlihat di wajah Walikota Medan, Rahudman Harahap, bila saat ini didudukkan satu meja dengan Walikota Solo, Joko Widodo? Kemudian di hadapan keduanya berkumpul membaur warga masing-masing yakni dari Medan dan Solo. Senyum sumringahkah, menegakkan kepala pertanda percaya diri, tertawa kecut, tertunduk rendah diri dan minder, atau malu-malu laksana bocah kecil yang minta diajari sesuatu agar bisa memberi arti terhadap sekelilingnya?

Pekan lalu, minggu pertama tahun baru 2012, sepertinya tak satupun dari 200-an juta penduduk Indonesia yang tidak terhenyak atas sikap percaya diri Joko Widodo memperkenalkan mobil baru buatan siswa Sekolah Menengah Kejuruan di kota yang dipimpinnya. Tidak mau menunggu orang lain memberi apresiasi terhadap karya anak bangsa tersebut, walikota yang akrab disapa Jokowi ini ambil inisiatif menjadi customer atau pembeli pertama mobil yang kemudian dikenal dengan brand Kiat Esemka itu. Berapa harganya? Hanya Rp 95 juta.

Bandingkan dengan mobil Rahudman bermerek Jeep Wrangler yang dibeli pertengahan tahun lalu seharga Rp 1,1 miliar. Atau Toyota Cygnus berharga serupa yang sama-sama berstatus mobil dinas yang sudah dimiliki beberapa bulan sebelumnya.

Menyenangkan Rakyat

Perkara menyenangkan hati rakyat, Jokowi sepertinya merupakan tipikal pemimpin yang dilahirkan untuk tujuan itu. Sedari awal memimpin, periode pertama pada 2005-2010, ciri kepemimpinan yang tampil melalui berbagai kebijakan yang dilahirkan tidak satupun yang berusaha memarjinalkan rakyat. Akan tetapi warga justru dimanusiakan, di-wongke.

Berdasarkan konsep bertajuk “Solo’s Future is Solo’s Past” yang dimilikinya Jokowi membangun kotanya dimana rakyat tak cuma jadi penonton apalagi beban. Dengan peran masing-masing walau sebesar apapun seperti pedagang kakilima, mereka diajak membangun bersama-sama.

Disebutkan di berbagai media, pengalaman sebagai pengusaha mebel dan taman menghantarkannya melanglang ke kota-kota di berbagai negara di dunia. Dari situ kemudian dia mengenal masing-masing pola pembangunannya. Diantaranya Zagreb di Kroasia, Budapest di Hungaria dan juga kota-kota lainnya baik di Eropa maupun Asia. Kota-kota tersebut memiliki kesamaan dengan Solo, kaya dengan peninggalan karya-karya seni dan budaya. Inilah yang selanjutnya dijadikan mutiara bernilai jual tinggi guna menyedot pendapatan demi membangun wilayahnya.

Langkah pertama yang dilakukannya adalah penataan kota. Kaitannya dengan rasa dan kenyamanan calon pembeli baik yang datang dari dalam maupun luar negeri, mustahil menjual kekayaan budaya dan seni di tengah keruwetan lalulintas, carut marut peruntukan wilayah serta aktivitas masyarakat yang tidak terkontrol. Di fase ini konflik menanti dan pergesekan dengan masyarakat dipastikan bakal terbuka. Sebab kendati tidak sebesar Medan yang dikenal sebagai kota nomor tiga terbesar di Indonesia, fenomena perkotaan sebagaimana umumnya juga terjadi di Solo. Kebanyakan masyarakat hidup dengan mata pencaharian berdagang. Tepatnya pedagang kakilima.

Disini kepiawaian seorang Jokowi sebagai pimpinan yang tak bermental semena-mena; seenaknya menggusur warga dan memberangus sumber kehidupan mereka, dengan nyata terlihat. Bukan hal mudah meminta pedagang kakilima untuk mau pindah secara sukarela menempati tempat berdagang baru kendati dengan iming-iming gratis sekalipun. Karena seringkali pemerintah menyediakan tempat berjualan sebagai pengganti tanpa memikirkan kemungkinan pembeli akan mau datang seramai tempat semula. Bagi pemimpin yang malas dan tak kreatif biasanya menurunkan Satuan Polisi Pamong Praja atau Satpol PP adalah pilihan termudah. Empati kepada para pedagang yang notabene adalah warganya dicampakkan sejauh-jauhnya. Meski dengan cara menggunakan kekerasan sekalipun, pokoknya para pedagang mau pindah!

Tak begitu yang dilakukan Jokowi. Kurang lebih seribu pedagang pasar tradisional Banjarsari yang terhimpun dalam beberapa paguyuban, yang hendak direlokasi ke tempat baru Pasar Klitikan, para kordinatornya diundang makan bersama di rumah dinas walikota. Sebuah pendekatan yang sangat humanis. Memanusiakan manusia. Bukan satu atau dua kali saja, upaya meluluhkan hati pedagang agar mau memindahkan tempat berjualannya lewat acara makan bersama tersebut dilakukan sebanyak lebih dari 50 kali. Barulah kemudian rencana itu disampaikan.

Dan tak sekedar makan bersama. Upaya meyakinkan para pedagang bahwa mereka akan tetap sejahtera kendati berjualan di tempat baru dilakukan dengan beberapa kebijakan lainnya yang sangat inovatif. Selama empat bulan Pasar Klitikan diiklankan di televisi dan media cetak lokal. Akses jalan raya menuju pasar dibangun menjadi lebih lebar, trayek baru angkutan kota yang memudahkan pembeli datang berbelanja juga dibuka.

Kalau pemerintah sudah sangat bersahabat seperti yang ditunjukkan Jokowi, adakah rakyat yang akan membangkang?

Dia berkeyakinan sepanjang para pedagang kakilima ditata dan diberdayakan sebaik-baiknya, mereka pasti akan berkontribusi bagi pembangunan ekonomi. Maka sangat keliru jika menganggap para wong cilik itu sebagai musuh, sebaliknya adalah patner.

Buktinya, pada 2008 sektor yang kerap dipandang sebelah mata akibat diasumsikan becek dan bau ini berhasil menyumbang pendapatan dari sisi retribusi sebesar Rp 14,2 miliar. Jauh melampaui mall yang hanya mencapai Rp 4 miliar. Itulah buah yang didapatkan dari penataan dan pembangunan ulang 12 pasar tradisional. Dengan jumlah 38 yang ada, tinggal kalikan saja berapa nilai pendapatan asli daerah yang bakal dihasilkan.

Jadi tak usah heran kalau kemudian Jokowi memperkenalkan mobil Kiat Esemka buatan warganya. Menyusul promosi yang dilakukannya banyak pejabat pusat dan daerah kini berlomba-lomba tak sekedar ingin mengetahui, tetapi juga membeli. Ketua DPR RI Marzuki dan beberapa anggota DPR sudah menyatakan niat untuk memiliki Esemka. Menteri Pendidikan Nasional Muhammad Nuh bahkan berniat menghadiahkan mobil tersebut kepada bosnya, Presiden Susilo Bambang Yuhoyono.

Satu lagi cara Jokowi untuk menyenangkan rakyatnya. Sungguh benar-benar pemimpin yang bersahaja dan penuh kreasi.

Bagaimana dengan Rahudman?

Mari kita bandingkan Rahudman dengan Jokowi. Lupakan sejenak tindak korupsi yang disangkakan padanya akibat menggelapkan uang negara sebesar Rp 13,8 miliar. Dana tersebut ditilapnya ketika menjabat Sekretaris Daerah Kabupaten Tapanuli Selatan atau sebelum terpilih menjadi walikota Medan. Nasibnya kini berada di tangan Kejatisu apakah kasus korupsi itu hendak diteruskan sampai tingkat pengadilan atau tidak.

Walau masih terhitung baru dalam memimpin kota Medan, kurang dari dua tahun, sudah mulai tercium kontroversi seperti apa kelak yang bakal menjadi warna dominan dalam roda pemerintahannya. Namanya juga orang yang sedang tersandera. Mengikuti pola yang terjadi di Jakarta, barangkali akan banyak transaksi dengan berbagai pihak yang tujuannya bukan untuk menyenangkan rakyat.

Hanya beberapa bulan setelah menduduki kursinya sebagai pimpinan tertinggi eksekutif, Rahudman tak ragu-ragu menikmati kekuasaannya dengan membeli mobil dinas baru. Terbilang sangat wah. Berkwalifikasi off road dengan brand Jeep Wrangler. Siapa yang tak kenal kenderaan mewah yang banyak digandrungi kalangan berduit itu. Dibeli dengan harga Rp 1,1 miliar, paling tidak sepuluh unit Kiat Esemka bisa dibariskan di depan kantor walikota.

Sebagai orang nomor satu rupanya Rahudman tak cukup kuat menahan diri. Alih-alih menarik simpati publik dengan tidak menghambur-hamburkan uang rakyat dan tak membeli barang-barang yang sifatnya konsumtif, dia malah memberi contoh tak baik kepada seluruh bawahannya. Sorotan dan kritikan publik yang tak begitu keras terhadap sikapnya itu membuatnya terus melaju. The show must go on!

Belum lama berselang, Desember tahun lalu, sekitar seratus pedagang kaki lima yang sehari-harinya berdagang makanan dan minuman di belakang perguruan Harapan dikejutkan oleh rencana Pemko Medan yang hendak mendirikan Harapan Square. Bertajuk penataan, pemerintah berusaha mengorganisir pedagang di satu kawasan agar terkesan apik.

Sayangnya penataan yang dimaksudkan Rahudman disini maknanya bagai langit dan bumi bila dibandingkan dengan konsep Jokowi. Bukannya hendak membantu dan memanusiakan para pedagang kakilima agar hidupnya kian sejahtera dan lebih dihargai, yang terjadi malah sebaliknya. Para pedagang tidak diperkenankan lagi berdagang di tempatnya semula. Mereka diharuskan berjualan di tempat yang disediakan yang hingga kini tengah didirikan. Akan tetapi jangan kira gratis. Untuk setiap lapak mereka diharuskan membayar sejumlah tertentu. Sesudah resmi berbuka, setiap harinya akan dikenakan kewajiban sebesar Rp 70.000 perhari yang harus dibayar hingga lima tahun.

Singkatnya, penataan pedagang kakilima versi Rahudman jauh dari substansi yang diterapkan Jokowi. Penataan berarti memporakporandakan tempat berjualan milik pedagang tanpa peduli mereka akan jadi apa sesudahnya, mengerahkan Satpol PP untuk mengusir pedagang dari lapaknya, memeras pedagang dengan dalih penyediaan tempat baru yang lebih rapi dan permanen, dan sebagainya. Maka tak heran kalau kemudian muncul resistensi dan perlawanan oleh para pedagang. Lagi-lagi oleh Rahudman; the show must go on!

Di tempat berbeda dalam waktu yang sama, ketika Jokowi me-launching Kiat Esemka di Solo, di Medan Rahudman berkunjung ke RSU Dr Pirngadi. Tujuannya untuk menginspeksi kepatuhan para bawahannya agar tertib masuk kerja di awal tahun. Entahlah apakah dia juga memeriksa kelengkapan fasilitas yang menjadi kebutuhan pasien yang tersedia di RS yang menjadi andalan bagi pasien kelas menengah ke bawah tersebut.

Satu ketika di bulan September tahun lalu untuk keperluan membesuk ibu seorang teman yang terbaring sakit, penulis berkunjung ke RS Dr Pirngadi. Persis di dekat koridor menuju pintu masuk dua gedung megah tempat pasien di rawat inap ditempatkan satu keran air layak minum yang bisa dimanfaatkan siapa saja. Di situlah keluarga pasien yang tidak sedikit datang dari luar kota Medan mengambil air untuk diminum.

Seharusnya keran air layak minum itu sangat bermanfaat dan membantu. Akan tetapi karena aliran air yang sangat lamban menyebabkan waktu yang dibutuhkan untuk mengisi setiap satu botol air mineral ukuran 500cc terasa sangat lama yakni 15 menit. Akibatnya fasilitas yang dibuat pihak RS bersama PDAM Tirtanadi itu seakan tak berarti. Terutama di pagi hari, antrian panjang para pengisi air tak terelakkan. Sesungguhnya ada dua keran air, akan tetapi satu lagi yang berada di bagian belakang RS tidak berfungsi karena rusak. Apakah masalah ini diperhatikan oleh Rahudman dan Direktur RS yang adalah bawahannya?

Berharap rakyat menjadi senang di bawah kepemimpinan Rahudman adalah sebuah tanda tanya besar. Ibarat mimpi yang tak tahu apakah akan terwujud atau tidak. Sangkaan sebagai koruptor yang belum kunjung lepas pantas jadi faktor terbesar keraguan tersebut. Kalau begitu wajarlah jika warga Medan merasa iri terhadap rakyat Solo.

Haruskah Jokowi memimpin kota Medan agar semua rakyatnya senang?

*****

Penulis adalah Direktur Eksekutif Sekolah Pendidikan Politik “POLITICA INSTITUTE”

Tulisan ini pernah dimuat di SKH Analisa, Kamis, 19 Januari 2012

Rabu, 11 Januari 2012

Menimbang “Prestasi” Polisi di Sumut pada 2011



Oleh Parlindungan Sibuea

Persis di penghujung tahun 2011 Kapoldasu Irjen Pol Wisjnu Amat Sastro bersama seluruh anak buahnya mengumumkan capaian kerja mereka sepanjang tahun. Cara seperti ini merupakan rutinitas tahunan guna menjelaskan ke publik kerja keras penegakan hukum yang merupakan tanggung jawab mereka. Biasanya didahului Mabes Polri oleh Kapolri yang memaparkan kinerjanya secara nasional. Selanjutnya diikuti institusi yang sama di level provinsi.

Menyimak pernyataan Kapolda, tahun lalu kepolisian mengalami peningkatan penanganan kasus bila dibanding 2010. Dari 37.668 kasus menjadi 43.884 kasus, meningkat sebesar 16,3%. Secara serentak kasus-kasus menonjol seperti pencurian dengan pemberatan (curat) dan pencurian kenderaan bermotor (curanmor), keduanya mengalami peningkatan jumlah. Untuk curat, naik dari 6401 menjadi 7325 kasus. Curanmor lebih fantastis, kenaikannya lebih dari 2000 kasus. Semula 4301 kasus menjadi 6537. Kasus-kasus penganiayaan sedikit merosot, dari 3617 turun menjadi 3514.

Selanjutnya menyusul adalah kasus judi, narkoba, pencurian dengan kekerasan (curas), yang jumlahnya patut membuat kita menepuk dada. Kecuali curas, judi dan narkoba jumlahnya mencapai ribuan. Pembalakan hutan secara liar mencapai 102 kasus. Kasus perampokan kekayaan negara hanya 15 dimana sebesar delapan miliar rupiah dari Rp 29 miliar yang dikorupsi berhasil diselamatkan.

Kemajuan atau Kemunduran

Mencermati lonjakan penanganan kasus sebesar 16,3%, kesimpulan seperti apa yang bisa disematkan kepada kepolisian kita atas kinerja tersebut? Apakah capaian itu bisa diartikan sebagai kemajuan atau justru kemunduran? Berikutnya, patutkan kita berbangga atau sebaliknya malah kecewa?

Secara sederhana penulis ingin mengulas “prestasi” kepolisian daerah Sumatera Utara ini terlebih dari aspek manfaat yang didapatkan masyarakat. Sebagai garda terdepan penjaga keamanan tentu hanya jika masyarakat memperoleh manfaat nyata barulah dapat dikatakan polisi berhasil mengemban tugasnya dengan baik. Angka hanya bisa dijadikan petunjuk bahwa ada pekerjaan riil yang dilakukan polisi. Tapi soal kenyamanan yang berhasil diciptakan adalah cerita lain yang jauh lebih meyakinkan penilaiannya.

Setidaknya ada tiga alat ukur atau perspektif yang dapat diajukan guna menimbang apakah polisi berhasil menciptakan rasa aman yang sesungguhnya dari semua pekerjaan yang mereka lakukan.

Pertama, keamanan. Sumatera Utara dengan tingkat heterogenitasnya dalam berbagai bentuk yang demikian tinggi sangat berpotensi melahirkan gesekan yang bisa memicu terciptanya aneka gangguan keamanan. Dari sisi etnis, suku-suku yang hidup dan berkembang berciri mudah menyala atau meledak saat ada ketidaksesuaian bahkan untuk hal sepele sekalipun. Untuk itu diperlukan aneka pendekatan agar kondisi kondusif guna menyediakan ketentraman memenuhi kebutuhan. Untungnya dalam kesempatan yang sama etnis yang beragam ini tak begitu njelimet untuk dirangkul diajak bersama-sama membangun kerukunan atau harmonisasi. Terbukti ketika di banyak tempat di Indonesia terjadi pergolakan antar kelompok, belum ada satupun konflik berbasis etnis maupun keyakinan yang memorak-porandakan keamanan di wilayah ini.

Peluang tercabik-cabiknya kenyamanan atau keamanan di 33 kabupaten/kota di Sumut yang lebih rasional penyebabnya adalah kejahatan-kejahatan atau kriminalitas berupa pencurian beserta penganiayaan. Tentu pencurian disini termasuk di dalamnya dengan pemberatan, kekerasan atau kenderaan bermotor. Kita tahu pencurian selalu berimplikasi pada terjadinya proses pemiskinan pada korban yang mengalami tindak pencurian. Di tengah sulitnya pemenuhan kebutuhan akibat belum terbukanya kesempatan kerja seluas-luasnya, banyak warga bertahan hidup dengan apa saja barang miliknya. Sebaik mungkin aset miliknya dijaga agar tidak berpindah tangan menjadi milik orang lain. Ketika terjadi pencurian, sikap gelap mata sebagai titik awal pertikaian sulit dihindari. “Bersyukurlah” kita semua kalau ternyata lonjakan angka curat dan curanmor pada 2011 masing-masing sebesar 14,4% dan 52% belum menyulut api keributan yang bisa melahirkan kebakaran dimana-mana. Begitu pula pencurian dengan kekerasan yang dikabarkan volumenya menurun.

Barangkali yang sangat mungkin menimbulkan kecemasan serius adalah penganiayaan. Betul bahwa tahun 2011 jumlahnya memang menurun; dari 3617 menjadi 3514 kasus atau anjlok 2,8%. Laporan akhir tahun Poldasu tidak mem-breakdown secara detail penganiayaan-penganiayaan seperti apa yang ditangani sepanjang tahun lalu. Terlebih dari sisi pelakunya apakah organisasi pemuda dan kemasyarakatan, kelompok masyarakat , institusi pemerintah, atau bahkan kepolisian sendiri.

Sebuah catatan akhir tahun yang dipublikasikan beberapa LSM seperti Kontras dan Bakumsu tentang penegakan Hak Azasi Manusia di Sumut menarik untuk dicermati agar tak ceroboh menilai kinerja kepolisian. Dalam catatan yang dirilis beberapa hari sebelum laporan Poldasu tersebut dinyatakan, sebagai pelaku terbesar pelanggaran HAM kepolisian melakukan 31 penganiayaan. Jumlah tersebut bahkan merupakan yang terbanyak (29%) dari seluruh bentuk pelanggaran yang mereka lakukan. Total terdapat 107 tindakan yang mencerminkan pelecehan terhadap HAM yang pelakunya adalah punggawa-punggawa di institusi penjaga keamanan tersebut.

Benar bahwa Irjen Pol Wisjnu menyebutkan terdapat 807 pelanggaran disiplin oleh anak buahnya mulai dari tingkat terendah hingga perwira menengah. Kepada mereka sudah dijatuhkan berbagai bentuk sanksi hingga yang terberat yakni pemecatan atau pemberhentian tidak dengan hormat (PTDH). Akan jauh lebih elegan jika beliau menjelaskan lebih rinci benar terdapat anggotanya yang melakukan penganiayaan dan mengakibatkan gangguan kenyamanan atau keamanan.

Dalam bentuk yang lebih masif, penganiayaan oleh satu kelompok masyarakat terhadap kelompok lainnya boleh dikatakan tidak pernah berhenti di Sumatera Utara. Yang lazim terjadi biasanya terkait dengan sengketa kepemilikan tanah. Salah satu catatan Kontras dan Bakumsu adalah penyerangan massa dari PTPN III terhadap kelompok tani MBK dan Sidodadi di Desa Merbau Selatan, Kecamatan Merbau, Labuhanbatu Selatan. Penyerangan dan penganiayaan terhadap kedua kelompok tani yang mengklaim kepemilikan tanah seluas 71Ha disebutkan jadi memungkinkan karena tidak dicegah atau dihentikan pihak kepolisian yang berada di lokasi.

Contoh-contoh penganiayaan sebagaimana dialami kelompok tani MBK dan Sidodadi seharusnya tidak terjadi andai aparat keamanan berdiri di tengah. Biarlah hukum yang berbicara terhadap sengketa yang berlangsung. Akan tetapi penganiayaan tidak boleh berlangsung oleh siapapun dan atas alasan apapun. Keamanan akan jadi korban dan implikasinya akan sangat beragam. Kasus Mesuji dan Bima yang masih sangat segar dari ingatan kita harusnya dijadikan referensi betapa hukum harus jadi panglima dan berlaku sama terhadap siapa saja demi kokohnya keamanan.

Dari perspektif keamanan ini sangat sulit menyebutkan Poldasu sukses menjalankan tanggungjawabnya karena akar persoalan yang jadi pemicu nyaris tidak tersentuh.

Kedua, profesionalisme. Kembali memakai data Kontras dan Bakumsu sebagai komparasi, tahun lalu terjadi pembunuhan di luar prosedur hukum, penyiksaan, teror dan intimidasi, penyalahgunaan senjata api, pembiaran dan penangkapan sewenang-wenang, yang sekali lagi pelakunya adalah aparat kepolisian. Jumlah kasusnya beragam.

Point-nya bukanlah berapa banyak bentuk-bentuk ketidakprofesionalan itu dilakukan polisi dalam menjalankan amanat sebagai penjaga keamanan. Walau satu kalipun, ketika pelanggaran etika, mekanisme atau prosedur yang notabene adalah pelanggaran hukum dan pengkhianatan akan profesionalisme, dipraktikkan oleh oknum polisi, tentu akan menimbulkan trauma mendalam bagi masyarakat. Bagaimana mungkin penjaga keamanan akan menjalankan fungsinya sepenuh hati kalau merekalah sesungguhnya sumber keonaran itu.

Patut disyukuri kalau kejengkelan atau amarah masyarakat terhadap ketidakprofesionalan institusi kepolisian di Sumatera Utara jauh dari keinginan untuk melampiaskannya dalam bentuk tindakan anarkhis.

Lalu akankah kita menyebutkan Poldasu berhasil menjalankan perannya dengan baik bila aspek profesionalisme yang menjadi alat ukur? Jawabannya, tidak.

Ketiga, ekonomi. Dimanapun di dunia ini, tak hanya di Indonesia apalagi Sumatera Utara, aspek keamanan merupakan salah satu pilar utama bagi penguatan ekonomi. Kegagalan menyediakan keamanan secara menyeluruh sempat membuat Indonesia kewalahan untuk bangkit dari keterpurukan ekonomi. Butuh waktu panjang dan usaha tak sedikit guna meyakinkan pelaku usaha untuk membangun dan menciptakan lapangan usaha karena jaminan keamanan yang meragukan.

Begitu pulalah situasinya di Sumatera Utara. Ketidaknyamanan berusaha terlebih bagi masyarakat kecil hanya akan memperkaya segelintir orang. Akibatnya kemajuan ekonomi dalam arti yang lebih berkwalitas yang bisa dirasakan masyarakat luas tidak akan berlangsung. Selama ini sangat umum diketahui bahwa akses terhadap kepemilikan tanah atau potensi-potensi ekonomi hanya ada pada kalangan pengusaha baik swasta maupun BUMN. Ditambah para pejabat yang bisa mengendalikan pembuatan kebijakan.

Dalam bentuk angka betul bahwa Sumatera Utara berhasil melambungkan pertumbuhan ekonominya. Berhasil mendongkrak ekspor yang kemudian menambah devisa negara. Tapi berapa banyak yang ikut mencicipi keberhasilan itu, apakah rakyat yang nasibnya tidak menentu punya kesempatan menikmatinya?

Pertanyaan berikutnya, berhasilkah Poldasu menjalankan amanat yang diembannya pada 2011 jika mengacu pada aspek kemajuan ekonomi yang dirasakan masyarakat luas? Sepanjang akses terhadap potensi pembangunan ekonomi masih dijauhkan terutama dari masyarakat kecil dan lebih menganakemaskan pemilik modal besar, jawabannya belum. Hukum harusnya diberlakukan sama kepada semua warganegara. Tak terkecuali kepada para pengusaha.

Kwalitas bukan Kwantitas

Bagi kepolisian atau siapa saja, membuktikan kinerja lewat capaian dalam bentuk angka atau kwantitas bukanlah sesuatu yang keliru. Karena dengan angka-angka itu masyarakat jadi yakin ternyata polisi memang benar-benar bekerja. Terlebih karena begitu beragamnya problematika yang bisa memicu terganggunya keamanan. Dengan mudah masyarakat akan mengenali bentuk-bentuk gangguan itu berikut trend kejadiannya dari masa kemasa. Sehingga masyarakat jadi lebih tahu harus bersikap seperti apa untuk mengantisipasi. Atau bahkan mesti melakukan apa sebagai bentuk partisipasi.

Akan tetapi jika Poldasu tetap mengedepankan kwantitas dan mengabaikan kwalitas, tidak akan pernah ada penyelesaian persoalan dalam arti sesungguhnya. Seperti pemadam kebakaran saja, setiap saat persoalan akan kembali muncul.

Applaus kepada Poldasu yang dengan kesungguhannya pada 2011 bisa meyakinkan masyarakat melalui peningkatan kinerjanya ke arah yang lebih baik. Aspek keamanan, profesionalisme dan ekonomi hendaknya semakin dipahami dan dipegang teguh dalam setiap pelaksanaan tugasnya. Terlebih di 2012 yang diwanti-wanti akan memanas situasinya sehubungan akan adanya agenda politik berupa pemilukada gubernur yang seluruh prosesnya segera berlangsung.

Penulis adalah Direktur Eksekutif Sekolah Pendidikan Politik “POLITICA INSTITUTE”

*****

Artikel ini telah dimuat di SKH Analisa, Kamis, 5 Januari 2012