Selasa, 13 Maret 2012

Fit and Proper Test ala Rakyat


Oleh Parlindungan Sibuea

Tak ada aral melintang, kursi kepemimpinan kejaksaan tinggi Sumatera Utara-pun dengan tenang beralih ke pejabat baru. Dari Abdul Karim Basuni Masyarif kepada penerusnya Noor Rachmad. Tour of duty, begitu istilahnya. Basuni ditarik ke institusi induknya, Kejaksaan Agung. Noor Rachmad “hengkang” dari pekerjaan lamanya sebagai Kepala Pusat Penerangan Hukum.

Kunjungan Basuni ke beberapa media cetak “berpengaruh” di kota Medan (27/2, salah satunya “Analisa”) merupakan sinyalemen awal kalau kepergiannya takkan bisa terhentikan. Disusul seremoni serah terima yang konon kabarnya dilaksanakan di gedung bundar di Jakarta.

Tampil akrab bersama para petinggi media lokal, Basuni berusaha “membersihkan” diri. Seakan-akan pemimpin-pemimpin redaksi itulah atasannya sesudah jaksa agung. Kepada mereka dia menyempatkan diri mengabarkan prestasinya dimana lembaga yang dipimpinnya terpilih sebagai kejaksaan terkinclong di lingkungan kejagung dalam hal penanganan perkara.

Selamat jalan kepada Basuni, selamat menunaikan tugas di posisi dan jabatan yang lebih bergengsi serta prestisius. Selanjutnya, selamat datang Noor Rachmad. Selamat memasuki medan pengabdian baru. Kurang lebih tiga belas juta penduduk provinsi ini menggantungkan harapan akan terciptanya keadilan di pundak anda.

Mulai dari dalih remeh-temeh hingga yang krusial, adakah rakyat mengetahui cerita sesungguhnya di balik pergantian Basuni oleh Noor Rachmad? Apakah ini memang rotasi biasa saja dari jaksa senior kepada yuniornya dan tak punya makna strategis apapun selain agar semua “kebagian”? Atau terdapat alasan prinsipil guna menegaskan tekad keras lembaga kejaksaan menumpas pelanggaran hukum khususnya korupsi di Sumut, semoga segera akan kelihatan.

Mengawetkan Kekecewaan

Setelah tak penuh satu tahun menjabat Kajatisu, patut dipertanyakan jejak prestisius apa yang dicatatkan Basuni dalam hal penegakan supremasi hukum di Sumatera Utara. Terutama menyangkut penanganan kasus-kasus korupsi yang oleh Indonesia Corruption Watch provinsi ini sempat dinyatakan sebagai jawaranya. Tak sedikit perkara pencolengan kekayaan negara yang dilakukan para penyelenggara kekuasaan seperti walikota, bupati dan segenap jajarannya yang di era Kajatisu sebelumnya (Sution Usman Adjie) terangkat ke permukaan. Bagaimana kini kelanjutannya?

Mengutip catatan akhir tahun 2011 tentang kondisi pemerintahan Sumatera Utara yang diterbitkan sejumlah Lembaga Swadaya Masyarakat seperti Kontras Sumut dan Bakumsu, Desember lalu, disebutkan bahwa Kejatisu merupakan salah satu titik lemah yang menyebabkan wilayah yang memiliki pertumbuhan ekonomi 6,58% ini memprihatinkan dalam hal perbaikan hukum dan penegakan kedaulatan rakyat. Jalan di tempat.

Dijelaskan, pada 2010 Kejatisu sempat menangani 33 kasus tindak pidana korupsi. Diantaranya yang dikwalifikasikan sebagai kasus besar adalah penggelapan dana oleh Walikota Medan Rahudman Harahap sebesar Rp 13,8 miliar semasa menjabat sekretaris daerah kabupaten Tapanuli Selatan. Kajatisu terdahulu bahkan telah menetapkannya sebagai tersangka sebelum resmi menjadi orang nomor satu di kota Medan.

Lalu korupsi terhadap APBD Langkat (2000-2007) sebesar Rp 98 miliar lebih serta di Dinas Pekerjaan Umum kota Binjai (2007-2008) Rp 2,5 miliar.

Khusus untuk korupsi dana Tunjangan Penghasilan Aparatur Pemerintahan Desa oleh Rahudman pada 2005, perhatian luas muncul dari berbagai pihak. Instansi vertikal kejaksaan agung, misalnya, sempat melakukan gelar perkara. Lalu Komisi III DPR RI juga menyampaikan keprihatinannya. Hingga kemudian pendahulu Basuni menetapkan status tersangka kepada para pelakunya.

Jika dirunut, Rahudman adalah pejabat tertinggi kota Medan kedua yang sedari awal menduduki jabatannya tersangkut dugaan pelanggaran hukum. Abdillah yang digantikannya secara kontroversial berhasil terpilih menjadi walikota lewat proses pemilihan yang sarat akan politik uang. Hingga kemudian kejatisu terjun menangani kasus tersebut.

Anehnya roda kepemimpinan yang dijalankan Abdillah seperti tidak sedang menghadapi masalah apapun. Berkali-kali jabatan kajatisu berganti, posisinya sebagai pimpinan puncak tak tergoyahkan. Padahal saat itu gairah reformasi yang ditandai dengan menguatnya tuntutan-tuntutan penegakan hukum bergelora kencang.

Kalaupun kemudian dia harus meringkuk di balik terali besi, penyebabnya bukanlah aksi bagi-bagi duit (sebagaimana ramai dipergunjingkan) kepada para anggota DPRD Medan yang memenangkannya menjadi walikota saat itu. Melainkan berbagai penggelapan atau manipulasi penggunaan keuangan (APBD) seperti untuk pembelian mobil pemadam kebakaran serta membelanjai kebutuhan-kebutuhan keluarganya yang tidak ada relevansinya dengan urusan pemerintahan. Dan yang menyeretnya adalah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Begitulah mengecewakannya lembaga kejaksaan yang pada hakekatnya sangat diharapkan berada di garda terdepan guna menyelamatkan Sumatera Utara dari kaum rakus yang menyelewengkan kekuasaan, ternyata tak berbuat sesuatu yang berarti. Tak mampu memenuhi hasrat rakyat yang merindukan tegaknya keadilan tanpa harus diambil alih lembaga ad hoc, KPK.

Itu sebabnya sedari awal sejak Kejatisu menyidik perkara-perkara penggelapan uang negara (yang notabene adalah uang rakyat), sebagaimana dituduhkan kepada Rahudman, suara-suara pesimis begitu deras mengemuka. Sulit dipercaya kalau kasus-kasus itu akan tuntas penanganannya hingga pelaku-pelakunya dijatuhi hukuman seberat-beratnya.

Usulan pencabutan status tersangka yang sempat disandang Rahudman lewat pengajuan Surat Penghentan Penyidikan Perkara (SP3) oleh Basuni adalah bukti paling sahih betapa salah alamat untuk meletakkan harapan pada kejatisu. Alih-alih meneruskan kasusnya ke jenjang pengadilan demi mengungkapkan kebenaran yang sebenar-benarnya, keputusan rekan sejawatnya malah diajukan untuk dianulir.

Bagi Rahudman, Basuni meninggalkan kado perpisahan yang teramat manis. Bahwa sikap tersebut mengawetkan kekecewaan rakyat karena memundurkan langkah pemberantasan korupsi, apakah dia peduli?

Uji Kelayakan oleh Rakyat

Tak bisa ditangguhkan lagi, Noor Rachmad harus jadi nakhoda baru kejatisu. Titah jaksa agung sudah menetapkannya, tak ada yang bisa membatalkan. Hendak sampai berapa lama dia memimpin, rakyat tak memiliki mekanisme apapun untuk ikut mengatur. Bahkan target yang hendak diburunya tak satupun yang tahu selain petinggi-petinggi di gedung bundar. Pertanyaannya, akankah mantan Kapuspenkum ini setali tiga uang dengan Basuni pendahulunya?

Kalau saja rakyat dalam arti sesungguhnya (bukan diwakili lembaga legislatif) diikutkan dalam penentuan pejabat-pejabat penegak hukum semacam kejaksaan dan pengadilan, pasti tak akan ada kekhawatiran bahwa tuntutan jaksa atau palu hakim tak berdaya berhadapan dengan para mafia. Sebab yang namanya transaksi demi kepentingan atau keuntungan jangka pendek seperti lazimnya dijalankan para anggota DPR maupun DPRD tidak bakal pernah berlangsung.

Penempatan atau penunjukan jaksa yang tidak jelas komitmen dan keberpihakannya terhadap penegakan keadilan serta pemberantasan korupsi menjadi kajatisu terbukti memperpanjang kesengsaraan dan pesimisme. Kepastian hukum seperti sebuah keniscayaan untuk menggapainya. Bagaimana mungkin status tersangka yang sudah ditetapkan kemudian dicabut oleh jaksa berbeda dari satu badan penegakan hukum yang sama?

Sayangnya memang belum ada “yurisprudensi” dimana rakyat bisa melakukan fit and proper test atau uji kelayakan dan kepatutan guna memutuskan hakim mana yang layak mengepalai sebuah pengadilan negeri atau pengadilan tinggi. Sama halnya dengan menentukan jaksa mana yang dijamin akan sungguh-sungguh menegakkan hukum sehingga pantas didudukkan menjadi kepala baik di tingkat kejaksaan negeri maupun kejaksaan tinggi.

Sebagai jalan tengah agar kepercayaan rakyat secara perlahan membaik, jika Noor Rachmad mau dan berani, ada baiknya kejatisu mengundang pimpinan-pimpinan rakyat yang kredibel untuk mengetahui arah penegakan hukum yang dikehendaki di Sumatera Utara. Sangat mungkin dalam kesempatan tersebut dukungan kepadanya agar tak gentar berhadapan dengan berbagai kepentingan yang menghendaki tenggelamnya keadilan akan berkobar. Sebab rakyat benar-benar mengimpikan lahirnya kepastian.

Tidak ikut dalam menentukan siapa yang harus menjadi kajatisu lewat sebuah uji kepatutan, setidaknya rakyat tahu arah keadilan hakum yang akan diperjuangkan bersama-sama. Sehingga tak terulang lagi status tersangka “palsu”.

*****

Penulis adalah Direktur Eksekutif Sekolah Pendidikan Politik, POLITICA INSTITUTE

Artikel ini pernah dimuat di SKH ANALISA, Rabu – 14 Maret 2012