Selasa, 11 Mei 2010

Rolling Stone Indonesia; Bergulat untuk Survive



Tidak terasa Rolling Stone Indonesia memasuki usia kelima. Usia yang terbilang tak pendek untuk satu usaha penerbitan media. Sudah menjadi rahasia umum bahwa bisnis koran, majalah, tabloid, bukanlah usaha yang dapat dijalankan dengan mudah. Padat modal, padat karya, dan padat ilmu pengetahuan. Ketiganya terkait tanpa satu pun di antaranya bisa diabaikan demi terciptanya sebuah produk bernilai jual tinggi. Kendati demikian, adalah persoalan fulus yang kerap kali menjatuhkan atau menumbangkan usaha penerbitan media entah apa pun bentuk produknya. Apalagi jika usahanya masih dalam tahap merintis dan membangun eksistensi atau mencoba merebut pasar agar oplah terjual dalam jumlah besar. Niscaya semua itu tak akan dapat terbangun jika kekuatan modal hanya cekak.

Justru itulah yang patut disoroti dari majalah Rolling Stone Indonesia yang berdiri sejak Mei 2005. Sebagai produk media cetak berbentuk majalah dengan nama yang begitu beken dan sangat dikenal di jagat ini, harusnya tak sulit bagi media yang bermarkas di kawasan Jakarta Selatan (Jl. Ampera Raya) itu untuk merebut pasar. Rolling Stone, gitu lho...!

Khususnya bagi kalangan pencinta musik, baik penikmat maupun pegiat yang terkait di dalamnya, nyaris tak ada yang tidak mengenal Rolling Stone. Berdiri tahun 1967 di San Francisco (dan kemudian hijrah ke New York), majalah ini besar bersama industri musik dunia. Siapa dan apa pun band musik yang eksis, kurang klop kalau Rolling Stone tidak memublikasikan atau mewawancarai mereka. Konsekuensinya, dalam waktu sekejap, popularitas mereka kian mengkilap karena terberitakan hingga ke seluruh penjuru dunia. Rolling Stone adalah majalah musik, dan musik sulit melepaskan diri darinya.

Maka, wajar pula kalau tak ada keraguan jika Rolling Stone Indonesia tidak akan menemui kesulitan berarti membangun eksistensinya. Keberadaan induknya yang demikian perkasa pastilah terimbas pula pada pasar Indonesia. Dalam pemikiran awal, meski tidak harus berpeluh keringat sebagaimana dilakukan media-media cetak lain yang baru terbit, pastilah sekejap saja Rolling Stone menemukan komunitas pembelinya baik di Jakarta maupun di kota-kota lain. Dengan demikian, target bisnis dalam arti meraup keuntungan (tak hanya break even point) kurang dari lima tahun akan berhasil dicapai. Namun benarkah demikian?

Pada pesta ulang tahun Rolling Stone Indonesia kelima yang diselenggarakan Jumat (7/5) malam lalu diceritakan tentang kondisi sebenarnya majalah yang dipimpin Andi Noya tersebut. Sebagaimana diketahui, di industri media, nama Andy Noya nyaris tak ada yang tidak mengenalnya. Berkat program reality show Kick Andy yang diasuhnya di salah satu televisi berita nasional, sosok berambut kribo ini berhasil menuai popularitas. Kecerdasannya meramu acara yang mirip dengan Oprah Winfrey Show itu mencuri perhatian publik dan mengacungkan jempol untuknya. Tangan dingin plus kepiawaian sang pemimpin dipadu brand Rolling Stone yang setara dengan Playboy (untuk majalah pria) pantas mencuatkan optimisme.

Suasana peringatan hari jadi yang sangat kental dengan ciri kegembiraan ditampilkan keluarga Rolling Stone. Keramaian terlihat sejak menapakkan kaki memasuki area berisi gedung berlantai tiga yang tak lain adalah kantor redaksinya. Ini adalah tempat di mana Andy Noya dan seluruh krunya meracik konten-konten majalah dan merancang potensi-potensi bisnis yang peluangnya terbuka untuk dikelola. Tamu-tamu (khususnya para wartawan yang sengaja diundang untuk konferensi pers) disambut secara formal dengan terlebih dahulu melewati meja registrasi. Berbeda dari hari biasa, karpet merah digelar untuk menandakan bahwa gawean yang dilangsungkan bakal menghadirkan orang-orang istimewa.

Kalau diamati memang yang hadir sebagai undangan tidak sedikit yang merupakan figur-figur ternama yang selama ini selalu menjadi berita utama di kancah permusikan nasional. Sherina, misalnya. Mantan penyanyi cilik ini datang lebih awal dari yang lain. Ada pula band The Flowers, Shanty, Shaggydog, Farah Quinn, Endah N. Resha, /rif, dan sebagainya. Ada di antaranya yang hadir sebagai peraih penghargaan pilihan editor Rolling Stone Indonesia untuk beragam kriteria dan ada yang diminta tampil menyanyi menghibur para tamu.

Sebuah panggung megah berdiri persis di halaman belakang gedung induk Rolling Stone. Lahan kosong dan segar yang dipenuhi tak sedikit pepohonan disulap menjadi arena pertunjukan outdoor. Dilihat dari billboard bergambarkan logo rokok yang selama ini sering menjadi sponsor pertunjukan-pertunjukan musik nasional, dengan mudah dapat dimengerti bahwa perayaan ulang tahun tersebut tak luput dari kerja sama kedua belah pihak. Penataan panggung, lampu-lampu yang terpasang, equipment seperti sound system, dan sebagainya 100% tak ada bedanya bila dibandingkan dengan pertunjukan yang biasa diadakan di Senayan. Panggung ini dinamakan Live Venue.

“Live Venue akan dijadikan sebagai tempat pementasan musik yang bakal diselenggarakan empat kali dalam sebulan,” kata Andy Noya.

Live Venue disiapkan menjadi usaha baru sebagai diversifikasi atas majalah yang merupakan core business. Siapa saja dapat menggunakannya, tentu dengan cara menyewa.

Yang terlihat sangat baru dari event yang dikemas dengan nama Rolling Stone Private Party itu adalah pembukaan kafe Rolling Stone. Di dunia, kafe semacam ini hanya ada dua: satu di Indonesia dan satu lagi di Jepang. Bahkan, di negara asalnya (Amerika), kafe tersebut belum didirikan. Tujuannya adalah menyediakan tempat bagi para musisi dan fansnya atau pelaku-pelaku usaha di industri musik sehingga lebih intens bertemu.

Kafe ini menjadi bisnis lain yang digarap dengan memanfaatkan brand Rolling Stone. Jadi, bersama majalah, saat ini terdapat tiga lini usaha yang dijalankan secara bersamaan. Bukan tidak mungkin ke depan semakin banyak usaha yang bisa dihidupkan berkat nama Rolling Stone yang demikian kuat itu.

Lalu, ada apa sebenarnya sehingga Andy Noya begitu bersikeras memanfaatkan nama Rolling Stone sebagai merek bisnis di luar pembuatan majalah?

Andy menyatakan, meski dari sisi cash flow majalah Rolling Stone Indonesia bisa dikatakan sehat, bisnis ini belum mampu memenuhi ekspektasi meraih pendapatan yang lebih optimal. Dengan harga Rp 55.000 per eksemplar, paling banyak hanya 30.000 eksemplar pada setiap edisinya yang diperjualbelikan. Pasar yang begitu segmented berikut harga yang relatif mahal dikatakan sebagai alasan sulitnya mendongkrak penjualan.

Sesungguhnya, ada upaya kreatif yang diciptakan guna mendorong peningkatan oplah. Di setiap edisi, Rolling Stone selalu mengadakan release party berupa panggung musik yang menampilkan para musisi nasional secara bergantian. Para pembeli dapat menikmati pergelaran ini secara free dengan cara menunjukkan majalah yang dibelinya. Majalah menjadi semacam tiket masuk. Namun cara ini belum mampu melesatkan jumlah pelanggan.

Karena usaha harus terus dihidupkan, di sinilah arti penting diversifikasi bisnis dengan memakai nama dan logo Rolling Stone sebagai merek. Itu sebabnya lahir Live Venue dan kafe Rolling Stone.

“Sekitar Rp 6 miliar investasi yang kami kucurkan untuk persiapan kafe,” kata salah seorang pemodalnya.

Memang sudah menjadi hal klasik. Sulit menghindari industri media yang perjalanannya diwarnai pemikiran-pemikiran ideal juga terjerembap menjadi berpikir pragmatis. Ketika peluang baru tampak di depan mata dan usaha utama tak bergerak pesat, maka diciptakanlah usaha baru yang paralel dengannya. Sembari majalah bergulat untuk survive, sumber-sumber pemasukan baru dihidupkan.

“Terlalu sayang kalau brand Rolling Stone yang dibeli dengan harga mahal tak dimanfaatkan untuk bisnis-bisnis lain di luar majalah,” kata Andy.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar